RSS

Desa Mineral -10-

Hari-hari setelahnya berjalan cukup baik, hingga saat ini.
                Besok ulang tahun Akira.
                Aku ingat aku pernah berjanji akan memberinya hadiah tahun ini, dan aku tidak ingin tidak menepatinya, janji adalah janji, aku sudah merasa terikat. Tapi bagaimana cara memberinya hadiah? Kami belum pernah bertegur sapa lagi, akupun tak pernah melihatnya. Aku hafal mati jadwalnya sehingga aku dapat menghindarinya dengan mudah.
                Aku terduduk di depan rak buku, mungkin sebaiknya aku tetap memberinya hadiah, tetapi akan aku kirim lewat pos, kemudian akan aku tulis dikertas aku hanya menepati janjiku, ya, itu ide bagus, sekarang, apa yang harus aku berikan?
                Seketika aku merasa jengkel pada diri sendiri, kenapa aku harus begitu perduli? Aku membencinya! Tapi apa memang begitu? Ah.. sudahlah.
                Aku menatap rak buku, menjalari setiap sisinya, kemudian mataku langsung terpaku pada suatu buku yang berwarna kusam. Bukankah ini....
                “Astaga aku baru ingat!” pekikku pada diriku sendiri. Ini adalah buku tentang obat-obatan herbal edisi spesial, dijual dengan pasokan terbatas, aku salah satu pembeli beruntung, aku membelinya sudah lama sekali saat masih di kota, sebenarnya, sebenarnya ya, aku hanya suka-suka saja membelinya, edisi spesial selalu spesial.
                Aku pernah membaca buku ini, dan isinya luar biasa, aku ingat beberapa bahan-bahan untuk beberapa jenis obat,semuanya ada di hutan desa ini. Baiklah, aku akan memberikan buku ini ke Akira, aku yakin dia tidak mempunyai buku ini, buku ini hanya di jual di kota. Aku juga yakin di perpustakaan tidak ada buku ini.
                Aku pergi ke supermarket dan membeli kertas kado, aku akan membungkusnya sendiri.
                “Untuk Akira ya? Kau akan memberikannya apa?” tanya Karen, dia yang melayaniku, Ayahnya sedang tidak ada.
                “Ssssttt, ini bukan untuknya” jawabku, melotot padanya, dia tertawa.
                “Sebagai penjual yang baik hati, aku tidak akan memberitahu ke siapa-siapa kau membeli kertas kado untuk membungkus hadiah ulang tahun Akira” Karen mengedip padaku, membuatku geram. Tapi baiklah, aku yakin dia tidak akan memberitahu ke siapa-siapa, dengan segera aku pulang kerumah dan membungkusnya.
                Aku hanya tiba-tiba teringat pada janjiku untuk memberi kado di hari ulang tahunmu,
                Aku mengetuk-ketukkan pulpenku, apa lagi yang harus ku tulis? Hmm.. mungkin..
                Aku melanjutkan suratku.
                “Apa aku harus mengucapkan selamat ulang tahun? Sepertinya tidak perlu. Baiklah, ini saja cukup” Aku merenggangkan jariku dan melihat lagi hasil tulisanku. Kemudian mengelemnya diatas permukaan kado.
                ***

                Aku hanya tiba-tiba teringat pada janjiku untuk memberi kado di hari ulang tahunmu.
                Aku hanya berusaha menepati janji.
                Kalau kamu tidak suka atau tidak membutuhkannya, buang saja.
                Kalau pun kamu tidak merasa perlu untuk membukanya,..itu terserah kamu.
Lily.
               
                ***
                Aku sudah mengirimkan kado itu ke klinik. Perduli amat dia mau membuka kadonya atau tidak. Sekarang aku sedang berada di Supermarket, membeli keperluan sehari-hariku.
                “Hai Lily” sapa seseorang, ternyata Elli.
                “Oh, hai juga Elli”
                “Akira membaca terus buku itu, sepertinya bagus, atau gara-gara kau yang memberinya?” ocehnya sambil tertawa, aku nyaris memukulnya dengan sayuran.
                “Aku tidak perduli, aku hanya menepati janji”
                “Aku tahu, aku membaca surat yang ditempelkan pada kado itu, kami membuka kadomu bersama-sama, dan sekedar info, dia tersenyum geli saat membaca suratmu itu, isi suratmu penuh kepesimisan, seakan-akan yang terjadi sebaliknya, kau takut dia membuang kado itu, kau takut dia tidak membuka kadomu, dan memastikan kau memang ingin memberinya kado, bukan hanya karena janji, ha ha ha” dia tertawa lagi, kali ini aku benar-benar menimpuknya, dengan tanganku saja. Tapi entah kenapa ada ada perasaan aneh yang menyelimuti dadaku.
                “Gomen gomen.. Ini surat dari Akira, aku tidak tahu apa isinya, tetapi bacalah, mungkin ucapan terimakasih dan sebagainya” dia memberikanku amplop berwarna putih, aku menerimanya, langsung menaruhnya di saku bajuku.
                Dan aku cepat-cepat pulang.
               
                Konyol memang, tetapi aku benar-benar tidak sabar untuk membaca isinya, ada apa dengan aku? Ini aneh, benar-benar aneh, seharusnya aku mengoyak surat ini, aku kan membencinya, tetapi yang ada sekarang aku duduk di atas kasurku, membaca surat itu.

                Dear, Lily.
               
                Terimakasih ya, atas kadonya.
                Saya membuka kadonya, saya juga tidak membuangnya.

                Aku mendengus, apa dia sengaja mengolokku? Tetapi aku merasa pipiku memerah. Aku melanjutkan membaca lagi.

                Saya cukup terkejut dengan isinya, saya mengenal buku ini, saya tahu ini buku edisi terbatas, hebat sekali kamu bisa mendapatkannya, saya kehabisan. Terimakasih sudah bersedia memberikannya ke saya. Buku ini bisa membantuku banyak.
                Jujur saja, saya tidak menyangka kamu ingat dengan hari ulang tahunku.

                Lily..
                Apa kabar? Sudah lamaaaa sekali kita tidak bertemu. Saya benar-benar merindukanmu.Sebenarnya saya ingin menemuimu, tapi kamu melarangnyakan? Saya ingat kata-kata terakhirmu, ‘jangan pernah berbicara padaku lagi!’ , jadi semoga surat ini bisa menjadi pengganti yang baik.
                Apa kamu masih membenciku? Sepertinya ya.
                Saya sangat menyesal Lily, saya memang pengecut, saya memang jahat, tidak sepantasnya saya bersikap seperti waktu itu, apalagi terhadapmu,yang mati-matian memohon maaf kepada saya. Saya benar-benar salah.
                Maafkan saya, sungguh, maafkan saya.
                Semenjak kejadian itu segalanya jadi sulit buat saya, saya sulit tidur,sulit makan, sulit minum, sulit berpikir, hahaha, kejadian waktu itu terus menghantui saya, bahkan dengan bekerja lebih keras, dengan menyibukkan diri, tidak membuat saya lebih tenang.
                Saya sengaja memberikan surat ini untukmu karena ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.
                Lily Vandera, bisakah kamu datang, malam ini pukul tujuh, ke Mother Hill?

                Jika kamu tidak ingin, tidak apa-apa.

Salam Rindu.
Akira

Aku memegang erat surat itu. Lagi-lagi perasaan yang aneh menyelimuti tubuhku. Ini antara campuran perasaan senang, gugup, tetapi juga gentar. Aku membaca ulang surat itu, hingga tatapanku terfokus pada kalimat-kalimat terakhirnya.

Dia menyuruhku menemuinya?

Astaga, apa dia sudah gila? Tentu saja aku tidak mau datang. Ini harus dicegah, atau dia akan menunggu hingga pagi menjelang.
Aku akhirnya menulis balasan, bisa ku titipkan pada siapapun yang bisa ku titipkan nanti.


Aku hanya ingin mengingatkan, jangan habiskan waktu untuk menunggu. Karena aku tak akan repot-repot untuk datang.

Aku melihat ulang isinya, benar, seperti ini, ketus dan tidak perduli.
Aku bergegas keluar, walaupun aku berjalan pelan-pelan, berharap bertemu seseorang, dan doaku terkabul, aku bertemu Ann.
"Ann! Sayangku!" panggilku nyaris berteriak, dia menoleh.
"Sepertinya kau menginginkan sesuatu dariku, dari nada bicaramu"
"Kau benar kawan, kau berbakat jadi detektif" Ann memutar bola matanya, aku terkekeh.
"Apa yang kau butuhkan?"
"Er.." Tiba-tiba aku menjadi gugup. "Ann.. Begini, bisakah kau memberikan surat ini ke Akira?"
"Surat? Ke Akira?" Dia menatap surat yang ku sodorkan. "Ya, please."
"Kenapa tidak kau sendiri saja yang memberikannya?"
"Aku..kau tahulah"
Dia menimbang-nimbang sebentar.
"Please please please" bujukku
"Baiklah" desahnya. "Hanya memberikan surat ini padanya kan?"
"Ya! Jangan dibaca ya, terimakasih!" ujarku sambil kemudian meninggalkannya. Semoga saja Akira tidak bertindak bodoh.

Akira tak membalas surat itu. Lagian, untuk apa juga sebenarnya dia membalasnya? Aku tak perduli. Elli tak berkata apa-apa juga, ini sudah semingguan berlalu sejak kejadian aku menyuratinya untuk terakhir kali. Dan aku tetap belum berbicara dengannya, belum bertemu dengannya. Bodoh amat.

Hari ini aku sedang di kebun, memangkas tanaman-tanaman yang sudah kering, beberapa hari lagi, mungkin sekitar tiga hari lagi, musim dingin akan tiba.
Aku sedang memangkas tanaman terakhir, saat seseorang memanggilku dengan suara familiarnya, membuatku jantungku terasa berhenti, mendongak, lihatlah, di depanku, berjarak beberapa meter, berdiri seseorang yang selama ini ku kenal, yang selama ini kujauhi, yang selama ini kubenci.
Akira, dengan jaket musim dinginnya, berdiri menatapku.

Dia mendekatiku, tersenyum gugup, tetapi aku mundur, kemudian lari melewatinya, memasuki rumahku, menguncinya. Tidak, aku tidak akan berbicara sepatah katapun dengannya.
"Lily..." Akira mengetuk pintu. "Saya mohon buka pintunya, kita harus berbicara"
Aku tetap diam.
"Lily.. Ini sudah hampir sebulan sejak terakhir kali kita bertemu"
Menyahut pun aku tidak akan melakukannya.
"Kita harus menyelesaikannya Lily. Saya akan menunggu disini hingga kamu keluar" setelah itu dia tidak berbicara lagi, hanya ada terdengar gemerisik, sepertinya Akira duduk di dekat pintu rumahku.

Sialan Akira, apa yang ada di pikirannya? Ini sudah mendekati musim dingin, udara sudah menjadi beku dan cuaca tidak menentu. Kenapa dia nekat sekali? Tetapi terserah saja, aku tidak akan membukakan pintu.
Dengan jengkel aku berjalan menuju kasur, menghempaskan diriku diatas benda empuk itu.

Satu menit..
Lima menit..
Tiga puluh menit..
Satu jam..
Dua jam..

Aku akhirnya bangkit dari tempat tidurku. Mengintip dari jendela, siapa tahu dia tidak serius dan akhirnya memutuskan untuk pergi.

Ternyata lagi-lagi aku salah. Tentu saja si keras kepala itu memutuskan tetap disana, tidak akan pergi.
Aku menghela nafas, Akira, maumu apaan sih?!
Aku mengambil note di mejaku dan menulis beberapa kata, lagi-lagi aku bertingkah seperti anak-anak, hanya berkirim surat.

Pergilah Akira, kumohon...

Aku menyelipkannya di sela-sela pintu, semoga dia membaca.

"Saya akan tetap menunggu, Lily, sampai kita menyelesaikan permasalahan kita" ucap Akira di balik pintu, dia membacanya.
Aku mendesah kecewa, kalau begitu terserahlah. Lebih baik aku mengurus diriku sendiri.

***
Akhirnya dia pulang saat tengah malam tiba, tentu saja aku tahu karena aku tidak bisa tidur hingga pukul segitu, terus menerus (entah kenapa) memikirkannya.
Esoknya, kupikir ia sudah menyerah, tetapi Akira memang orang yang teguh pendirian, hingga tiga hari ke depan dia terus mengunjungiku, dari pukul empat sore hingga tengah malam. Di hari yang penuh hujan, berangin, bahkan hingga akhirnya di hari yang bersalju, benar, musim dingin sudah tiba.

Suatu pagi, seseorang mengetuk pintuku dengan kencang, berkali-kali, aku dengan jengkel karena masih ingin menikmati tidur, berjalan terseok-seok membuka pintu, tampak di depanku Elli berdiri.
"Lily.." bisiknya cemas, perlahan kesadaran mulai menyelimutiku.
"Ya? Ada apa kemari pagi-pagi, Elli?"
"Maaf mengganggumu, aku hanya takut tak bisa bertemu denganmu, aku hanya ingin memberitahumu.. Tentang Akira"
Aku sekarang sepenuhnya terjaga.
"Ada apa memangnya? Dia bukan urusanku" tukasku pura-pura tak perduli, padahal aku penasaran setengah mati.
"Kau harus tahu. Akira sakit Lily, aku barusan memeriksanya, badannya panas sekali"
Aku berusaha mengatur ekspresiku.
"Dan, hubungannya denganku?" Tanyaku berusaha sedingin mungkin.
"Mungkin kau masih marah dengannya Lily, tapi kumohon, kumohon bicaralah dengannya, aku yakin malam ini dia akan kesini lagi, bagaimana pun keadaannya. Berbaikanlah, kau lihatkan, bagaimana dia begitu pantang menyerah, dia amat menyesal Lily"
"Itu memang kesalahannya, Elli"
"Tapi kau harusnya mengerti!" Suara Elli meninggi, membuat aku tersentak. "Lily apa kau tega? Apa kau tega menyiksa Akira seperti itu? Kau sahabatnya!"
"Kenapa kau begitu perduli, Elli?"
"Karena kalian berdua sahabatku!" teriaknya. "Berbaikanlah, please..."
Aku tersenyum tanggung. "Entahlah Elli, sebaiknya kau pulang saja, aku akan mengurusnya
nanti"
Elli menatapku setengah tak percaya setengah putus asa, tapi dia menurutiku, beranjak pulang.
Aku menyibukkan hari itu dengan mengurus peternakan dan belanja, di perjalanan aku bertemu Ann.
"Hai Ann.." sapaku
"Hai juga Lily, lama tak melihatmu"
"Baru juga sehari, kau seakan-akan pacarku saja" ucapku, memutar bola mata, dia tertawa.
"Sekedar info, berita bahwa Akira setiap hari menunggu di depan rumahmu sudah tersebar ke seluruh penjuru"
Aku menghela nafas. "Apakah dari gosip wanita?" Ann mengangguk mantap. "Kapan kau akan berbaikan dengannya?" Ini pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda.
Aku mendesah "Kapan-kapan, bye, Ann" aku melambaikan tangan, melanjutkan tujuanku.

***

Ucapan Elli terbukti benar, hari ini salju turun cukup lebat, dan Akira tetap ada di luar sana, sendiri dengan jaket musim dinginnya.
Aku juga duduk di balik pintu, menelungkupkan kepalaku di dalam lutut, bagaimanalah ini, apa yang harus aku lakukan? Di dalam sini saja, dengan perapian, jaket tebal dan ruangan kering, tetap terasa dingin, apalagi di luar sana? Dengan cuaca yang ekstrem, Akira.. Kenapa kau melakukan ini?
Satu jam..
Dua jam..

Aku akhirnya berdiri, aku harus menyelesaikannya sekarang, ini sudah hampir jam dua belas malam, aku harus keluar sebelum Akira pulang, harus, Lily, kau harus membuangkan egomu.

Aku membuka pintu, membuat udara dingin langsung menerpa, astaga, bagaimana mungkin Akira bisa bertahan di situasi seperti ini.
"Lily!" Terdengar suara serak Akira memanggil, terkejut sekaligus senang melihatku akhirnya membuka pintu. Aku menoleh, menatap sedih Akira, lihatlah, wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar. Dengan perlahan dia berdiri, tersenyum menatapku kemudian memelukku. Erat, sangat erat.
"Lily..Lily.. Saya sungguh minta maaf"
"Akira..." Aku membalas pelukannya. "Kenapa kau bodoh sekali, menunggu di luar di hari bersalju, di hari hujan, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Elli bilang kau sakit, kenapa kau datang?"
"Sata..saya harus" nafasnya terdengar berat. "Saya benar-benar minta maaf.. Li..ly.."
Setelah itu sunyi.. Akira tak berkata apa-apa lagi.. Hanya suara salju jatuh yang terdengar, Akira sepertinya kehabisan tenaga, seluruh berat tubuhnya ditopangkan kepadaku, aku mengeluh.
"Akira... Kau berat seka..li"
Tidak ada sahutan, aku berusaha melepaskan diri, gagal, kami berdua sama-sama terjatuh, dan Akira tidak bereaksi sama sekali.
Astaga, sepertinya Akira pingsan! Aku menariknya ke dalam dan menutup pintu, agar udara dingin tidak masuk, kemudian bergegas memeriksa tubuh Akira, lihatnya tubuhnya sedingin es, dan dia menggigil, apa yang harus di lakukan? Apa aku harus memanggil Elli?

Lama berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk tidak memanggil Elli. Dalam cuaca seperti ini di malam hari tidak mungkin aku pergi keluar apalagi meninggalkan Akira sendiri, jadi akhirnya aku membawa Akira ke atas tempat tidurku (Ini sangat sulit) dan menyelimutinya dengan berlapis-lapis selimut, aku juga melepas jaketnya yang basah. Kemudian aku mengambil kompres dan mengompreskannya pada dahi Akira.
"Kenapa kau bodoh sekali..bodoh.. Sangat bodoh" gumamku sambil menyeka dahinya.

Aku merawat Akira hingga entah pukul berapa, aku tidak mungkin ikut tidur di sebelahnya, jadi aku hanya bisa duduk di lantai, mengganti kompresan, menjaganya.

***

"Hhmm.." aku menggumam, merenggangkan sendi-sendi tubuhku, kemudian menyipit menatap jendela, di luar cerah, pasti sudah pagi. Astaga, semalam aku ketiduran.
Aku menatap sekeliling dan menyadari aku sudah berada di atas kasurku, siapa yang memindahkanku? Seingatku kemarin aku sedang duduk di lantai, dan, dimana Akira?.
"Hai, tidurmu nyenyak?" sapa seseorang, aku mendongak sebentar dan mendapati sosok Akira sedang tersenyum, dengan cepat aku berpaling, entah kenapa rasa marahku muncul lagi ke permukaan.
Akira menghela nafas.
"Makanlah, saya masak omelet, dan membuatkanmu susu, isi kulkasmu lengkap sekali" ujarnya sambil tertawa, aku diam, tidak menghiraukannya.
"Terimakasih ya, sudah menjaga saya semalam"
"Jelas, aku tidak mau di tuduh ini dan itu, jadi aku terpaksa menjagamu semalam"
"Kamu masih marah ya? Padahal kupikir saat kau membuka pintu kemarin kamu sudah memaafkan saya..." aku bisa merasakan kesedihan dalam ucapannya. Tetapi, apa aku akan menyerah begitu saja? Tidak, Akira.
"Aku hanya membuka pintu untuk menyuruhmu pulang, karena Elli mengabariku kalau kau sakit"
"Hmm.." Akira tampak berpikir. "Tetapi sepertinya semalam kamu menerima pelukanku bahkan membalasnya"
Astaga, kenapa dia mengingat hal itu? Aku merasakan panas pada wajahku.
"Itu sepertinya kan?" balasku ketus sambil beranjak dari tempat tidur. "Kau kemarin sakit dan orang sakit itu banyak mengkhayalnya, kau pikir untuk apa aku memelukmu? Sudahlah, jangan mengharap yang tidak-tidak, permisi!" Aku mendorongnya dan berjalan menuju pintu, saat ku buka pintunya, tampak Elli berada di depan pintu, salah tingkah melihatku yang tiba-tiba membuka pintu, apa dia mendengarkan? Bagus, dasar wanita penggosip.
"Kalau kau mengkhawatirkannya, dia ada di dalam" desisku, tanpa melihat kepadanya, aku langsung berlari menuju hutan.


***

Desa Mineral -9-

“Kamu sudah bangun? Ini sarapan untukmu” terdengar suara riang Akira, aku memang baru bangun, aku baru saja memikirkan kejadian tadi malam, tentang bagaimana sifat Akira tiba-tiba berubah dan apakah hari ini dia akan bersifat sama seperti tadi malam ketika dia datang membawa nampan berisi makanan.
                “Kenapa hanya diam? Ayo makan” ujar Akira lagi, aku menoleh, semakin bingung dengan perubahan sikapnya, mungkin aku harus melakukan beberapa hal untuk menguji kepastian sikap Akira.
                “Aku tidak mau, aku tidak lapar” ini ujian pertama Akira, lihat, apakah sikap barumu akan berganti lagi, Akira?
                “Kamu tetap harus makan, untuk kesehatanmu” ujar Akira lembut, aku mengeluh, tapi tenang saja, ujian untukmu belum selesai Akira, pikirku.
                “Aku ingin pulang saja” tukasku sambil menyibak selimut dan duduk.
                “Kamu boleh pulang, tetapi tidak hari ini, ayolah, makan dulu ya” Entah kenapa perkataan yang satu ini membuatku pusing.
                “Kenapa kau masih perduli? Kan aku sudah bilang jangan ikut campur dengan urusanku” Sial, kenapa kalimat itu selalu saja muncul, kenapa aku harus keceplosan mengatakannya?
                Wajah Akira mengeras, sorot matanya memancarkan kepedihan, tetapi dia langsung tersenyum ramah lagi, sesuatu yang tak pernah kusangka.
                “Ah.. saya harus melakukannya, izinkan sekali saja saya ikut campur dengan masalahmu, setelah kamu kembali sehat saya janji aku tidak akan mengganggumu, dengar ya, saya janji” ujarnya tenang.
                “Jadi, jadi sikapmu yang tiba-tiba berubah ini, yang tiba-tiba menjadi sangat perhatian, hanya gara-gara aku sakit?” desisku geram, aku merasa mataku mulai panas.
                Akira diam, tidak menjawab.
                “Padahal kupikir...kupikir kau memang sudah memaafkan aku, kenapa Akira?” sekarang air mataku mengalir.
                “Hei, hei, jangan menangis, saya hanya berusaha menuruti keinginanmu, menjauhimu, berhenti ikut campur-”
                “Bukannya kemarin aku sendiri yang berkata aku tak pernah bermaksud mengatakan hal itu? Sekarang dengan tenangnya kau berjanji tentang hal seperti itu? Kau jahat Akira, jahat!!!”
                Aku berdiri dari dudukku, berjalan melewati Akira, tetapi dia memegang tanganku.
                “Kamu pikir kau mau kemana?”
                “Aku mau pulang” balasku sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya.
                “Tidak bisa-kamu-belum sembuh”
                “Aku tidak perduli! Lepaskan aku! KUBILANG LEPASKAN AKU!” aku meneriakkan kata-kata terakhir dan menyentakkan tanganku, sepertinya Akira terlalu terkejut dengan teriakanku sehingga tidak bereaksi, aku mengambil kesempatan ini dengan berlari keluar klinik, pulang.
               
                Aku berhasil pulang, tentu saja. Walaupun sepanjang perjalanan Akira berkali-kali menahanku, berusaha menarikku untuk pulang, tetapi kali ini aku benar-benar melawan. Untunglah saat itu masih pagi, belum ada siapapun selain kami berdua.
                “Aku sangat membencimu, Akira, jangan pernah berbicara padaku lagi!” ucapku pada akhirnya sebelum aku membanting pintu rumahku tepat di depan wajahnya.

                ***
                Ini adalah fase awal baru yang rumit, aku serius dengan perkataan waktu itu, bahwa aku membenci Akira. Aku benar-benar marah padanya, aku tahu mungkin alasannya cukup sepele, tapi aku marah, aku benci dengan sikapnya.
                Bagaimana Akira menyikapi masalah ini? Entahlah, dia tak menemuiku setelah itu, aku masih sakit hinga harus istirahat beberapa hari di rumah, Elli datang ke rumahku, membawa segala keperluanku saat aku di klinik, yang waktu itu aku tinggalkan saat aku pergi dari klinik. Elli juga lah yang setia merawatku di rumah, dia datang dua kali sehari memastikan keadaanku, tetapi dia tak berkata apapun tentang Akira, aku juga tidak bertanya apa-apa.
                Akhirnya ketika aku sembuh, aku bisa bekerja kembali dengan normal.
                “Elliiiii-chaaaan” teriakku menyambutnya saat dia datang (dia tidak tahu aku sudah sembuh, dan terkejut melihat sedang di kebun)
                “Eh? Kau sudah sembuh?” tanya Elli, aku mengangguk senang.
                “Ini Elli, biaya pengobatanku selama beberapa hari terakhir, apakah kurang?” aku memberikannya beberapa lembar uang, tetapi Elli menggeleng tegas.
                “Tidak, tidak apa, kau tak perlu membayar”
                “Aku harus, aku membayar jasa klinik”
                “Aku tidak menerima”
                “Kau harus”
                “Tidak akan” ujarnya lagi, lebih tegas, aku menghela nafas, Elli memang keras kepala.
                “Baiklah kalau begitu, ambil ini saja, kali ini kau benar-benar harus menerimanya, inikan bukan uang, oke?” aku kali ini memberinya beberapa botol susu dengan beberapa butir telur.
                “Tapi-“
                “Kalau kau tidak mau menerimanya sebagai biaya pengobatan, aku memberikan ini kepada klinik sebagai pemberian biasa saja, paling tidak ini berguna untuk pasien-pasien yang sakit” aku menyodorkannya lagi, memaksanya menerima, kali ini Elli yang menyerah.
                “Terimakasih”
                “Sama-sama”
                Elli berbalik pulang, sedangkan aku melanjutkan pekerjaanku, aah, senangnya bisa bekerja kembali. Apalagi hari ini cerah, yeah, hari ini aku akan berbagi kebahagianku dengan memberi seluruh hasil panen hari ini ke seluruh warga desa Mineral, kecuali ke Akira, ya, kecuali ke Akira.
                Semua menyambut pemberian dan kesehatanku dengan senang, Ann yang baru saja kemarin menjengukku dirumah berteriak senang, terkejut melihatku sembuh, yang lain-lain kurang lebih begitu, Mary, menyarankan aku membaca beberapa buku tentang menjaga kesehatan, Gray mengejekku sebagai petani yang lemah, Cliff menasehatiku dan Rick memaksa menukar pemberianku dengan beberapa telur, agar aku sehat, katanya.
                Aku tidak bertemu Akira, lagian buat apa? Perduli amat dengan dokter berwajah datar itu.
               
                ***
                Tok..tok..tok.. terdengar suara pintu diketuk, aku membukanya, di depanku berdiri Ann membawa sebuah kantung plastik besar, entah berisi apa.
                “Ada apa?”
                “Ayo kita memasak!” balasnya ceria dan langsung menerobos masuk, membuatku geleng-geleng kepala.
                “Tumben sekali? Biasanya kau akan mengajakku ke rumahmu” tanyaku bingung, dia menggeleng-gelengkan kepalanya, tetap sibuk dengan panci.
                “Dad sedang sibuk bereksperimen, dan aku malas kalau bereksperimen dengannya, jadi lebih baik kesini, bagaimana kalo kita memasak sesuatu yang baru?”
                Aku heran dengan Ann yang bisa begitu mudahnya mengganti topik, tapi baiklah, kali ini kami akan mencoba sesuatu yang baru.

                “Gosip tentang kalian berdua sudah tersebar hingga ke pelosok desa” gumam Ann, memulai gosip diantara kegiatan memasak kami, aku mengeluh, inilah kekurangan Ann, tidak mngerti bahwa aku tidak ingin membicarakan masalahku dengan Akira. Tetapi, sepertinya kali ini aku agak tertarik, yang benar saja? Pelosok Desa? Artinya seluruh warga tahu dong?
                “Seriusan?”
                Ann mengangguk mantap.
                “Bagaimana bisa?”
                “Lewat gosip para wanita” dia tertawa, aku sendiri hanya bisa meringis.
                “Apa kata mereka?”
                “Mereka hanya berharap kalian cepat menyelesaikan masalah kalian, kau tahu, mereka mengaku, kalian ada pasangan paling top setahun belakangan, berkelahi, baikan, berkelahi lagi” ucapnya santai, tapi membuatku tersedak.
                “B-bagaimana bisa?”
                “Bisa saja” Ann mengendikkan bahunya.
                “Apa reaksi Elli?”
                “Elli menerimanya, sepertinya dia juga mengerti bahwa kau mencintainya, Akira mencintaimu, kalian saling mencintai, mencintai, mencinta-“
                “Aku tidak mencintainya atau apapun itu, aku membencinya, sangat membencinya, dan dia juga begitu”
                “Ah, aku tak percaya” ejeknya, aku mendengus, terserah saja,
                “Akira menjadi lebih sibuk sekarang, menyibukkan diri, kurasa” ucap Ann lagi setelah beberapa menit, kami tinggal menunggu hasil masakan kami matang.
                “Aku tak perduli”
                “Dia rindu kamu, sepertinya”
                “Bukan urusanku”
                “Tadi aku menemuinya, wajahnya terlihat sangat lelah, ada kantung mata di wajahnya”
                “Baguslah, biar dia tahu rasa”
                “Dia tahu kau sudah sembuh”
                “Hhmmm”
                “Kurasa dia ingin menemuimu”
                “ Aku tidak akan menemuinya”
                “Elli bilang, mata Akira langsung berbinar saat Elli mengabarkan kepadanya kau sudah sembuh”
                “Hhmm”
                “Lily”
                “Hm..”
                “Apa kau mau, Akira yang sudah kau perjuangkan setahun belakangan ini, direbut oleh Elli? Sahabatmu sendiri? Biar bagaimanapun Elli pasti pernah atau setidaknya akan mencintai Akira juga”
                Aku diam, merasakan sensasi tidak nyaman pada perutku.
                “Terserah saja, aku tak perduli” desisku pada akhirnya. Benar, aku tak akan perduli, cowok-cowok di desa ini benar-benar brengsek, entah sehabis ini siapa lagi.
                Ann akhirnya menyerah untuk mengungkit masalahku dengan Akira. Saat makanan kami matang dan kami akan mulai makan, terdengar bunyi ketukan pintu dari luar dan ternyata para cewek-cewek datang, Popuri menjelaskan dia mencari Ann dan ayah Ann mengatakan Ann ada disini untuk memasak bersamaku, jadilah mereka beramai-ramai kemari, untunglah aku dan Ann memasak banyak, semua cukup. Kami makan bersama dan mengobrol banyak, bahkan lagi-lagi masalahku dengan Akira diungkit, tetapi aku tak perduli, aku hanya menanggapi dengan gumaman singkat, well, aku benar-benar tak ingin membicarakan hal itu!


                ***

Desa Mineral -8-

Aku membuka mataku dan refleks menutupnya lagi.
                Silau.
                Setelah beberapa lama dan beradaptasi deengan cahaya, aku membuka mata, berhasil. Tetapi kepalaku pusing sekali. Tanganku memiijat pelipisku dan aku melirik sekitar.
                Ini klinik.
                Aku terkejut dan cepat-cepat duduk, membuat pusing kepalaku semakin menjadi-jadi. Tetapi aku memaksakan diri untuk bangun dan turun dari tempat tidur, alhasil, aku terjatuh.
                “Aduh..” pekikku pelan, tetapi itu sudah cukup untuk terdengar, apalagi suara jatuhku tadi. Aku mendengar ada suara orang berlari diluar.
                “Lily..!” terdengar suara Elli, dia membuka tirai dan menatapku, tatapannya yang awalnya was-was berubah menjadi heran.
                “Ngapain kau disitu? Terjatuh?” tanya Elli sambil membantuku duduk dikasur kembali, aku mengangguk.
                “Kau baik-baik saja? Ku pikir mungkin‒”
                “Bagaimana aku bisa sampai disini?” tanyaku memotong perkataan Elli.
                “Kau pingsan”
                “Aku tahu, tapi bisakah kau jelaskan secara detail?”
                “Baiklah.. Yang kutahu adalah kau pulang bersama Ann, aku sempat melihatmu pergi dari pantai, kemudian, tidak lama setelah pergi, tiba-tiba May datang ke pantai dan berkata kau pingsan, rupanya kau pingsan di dekat rumah Barley, karena Barley sudah tua, dia tidak akan mampu mengangkatmu, jadi May disuruh memanggil kami.” Elli diam sebentar, seperti mengingat-ingat, kemudian melanjutkan.
                “Kami beramai-ramai kesana, kau sebelumnya sudah dibawa kedalam rumah Barley oleh Ann, Akira memeriksamu dan berkata kau baik-baik saja, hanya kelelahan, jadi-“
                “Akira memeriksaku?!” tanyaku kaget.
                “Tentu saja, dia tidak sejahat itu Lily” Elli tertawa lemah. “Tetapi dia berkata lebih baik kau dirawat, jadi, Ann menyuruh Cliff untuk menggendongmu kemari. Kau pingsan cukup lama, sekarang sudah pukul tiga pagi”
                Aku mengangguk-angguk, kemudian teringat sesuatu. “Kenapa kau mau berbicara kepadaku?”
                Tiba-tiba Elli menjadi salah tingkah, dia menggaruk-garuk kepalanya dengan gusar.
                “Ah, maaafkan aku Lily, sebenarnya aku ingin berbicara padamu, tetapi aku takut kau masih marah padaku, karena.. aku menceritakan kejadianmu dengan Kai kepada Akira”
                “Oh itu.. Kukira kau sama seperti Karen dan lainnya, aku sudah memaafkanmu sejak lama, nah, sekarang aku ingin pulang”
                “Jangan!” tahan Elli saat aku turun, benar saja, badanku linglung lagi.
                “Kau masih belum sehat, dan ini masih sangat pagi”
                “Aku tidak suka disini”
                “Aku melarangmu Lily, aku suster disini dan kau harus menurutiku, sekarang tidur” ujarnya galak, tetapi kemudian tersenyum, aku tertawa lemah, menuruti perintahnya.
                “Setidaknya kita lihat besok pagi bagaimana keadaanmu”
                “Kenapa kau yang kemari? Kenapa bukan Akira?” ujarku tiba-tiba, pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa bisa kucegah, Elli terdiam.
                “Elli? Jawab aku”
                “A..Akira sedang tidur”
                “Apa dia tidak terbangun saat aku jatuh? Suaranya kuat sekali, lagian kamar Akira lebih dekat dengan tangga daripada kamarmu, setahuku, sehingga suaranya terdengar lebih jelas dikamar Akira”
                Aku memperhatikan sikap Elli berubah saat dia menjawab dengan gugup “Er, Akira mungkin tidak mendengarnya, dia mungkin terlalu lelah”
                “Apa benar begitu? Seharusnya kan dokter tidak begitu, Elli kau tidak bohong kan?”
                “Kenapa kau penasaran sekali, Lily? Apa salahnya kalau aku yang datang?” tukas Elli agresif, aku terkejut, kemudian berpaling.
                “Well, aku, hanya ingin tahu, tidak apa-apa kalau memang Akira tidak mendengar aku hanya....ah, sudahlah, aku ingin tidur” aku menarik selimutku dan membalikkan badanku ke arah dinding.
                “Baiklah baiklah, jangan marah Lily” desah Elli, aku tersenyum, rencana merajukku berhasil.
                “Sebenarnya yang mendengar suaramu terjatuh itu Akira, sepertinya dia belum tidur. Dia mengetuk pintuku, untunglah saat itu aku baru mau tidur, jadi aku membuka pintu dan Akira menyuruhku memeriksa keadaanmu karena dia mendengar suara ganjil dibawah.
                “Sepertinya Akira masih marah padamu dan tidak ingin bertemu denganmu, tetapi aku yakin dia masih perduli padamu Lily, walaupun dia berusaha tidak menunjukkan perasaannya, dia terlihat sangat khawatir saat kau pingsan, aku mengenalnya, jadi aku tahu. Akira itu sangat baik Lily, terutama padamu, nah, cukup dongengnya, sekarang kau harus tidur!” Elli tertawa dan meninggalkanku, aku menghela nafas, berharap perkataan Elli benar, bahwa Akira baik padaku, masih perduli padaku.

                Paginya.. Pukul 8 tepat.

                “Sudah ku katakan aku tidak lapar Elli” ujarku, menutup mulutku dengan kedua tanganku.
                “Kau belum makan sama sekali Lily, apalagi Ann semalam bilang kau menolak memakan jagung”
                “Apa salahnya, aku memang tidak lapar”
                “Kau harus makan!”
                “Tidak mau!”
                “Lily!”
                “Jangan memaksaku!”
                “Aku harus, kau harus makan, nanti sakitmu tambah parah!”
                “Tidak akan, sudahlah Elli, aku kan sudah bilang aku tidak mau!”
                “Baiklah!” ucap Elli kesal sambil meletakkan makanan yang sedari tadi ia pegang ke atas meja, kemudian keluar ruangan, aku menghela nafas lega, akhirnya Elli menyerah, aku memang malas sekali makan, aku merasa mual, jadi melihat makanan saja aku tidak nafsu, ah, mungkin aku harus tidur.
                “ Sebenarnya maumu apa, Lily?” aku tersentak mendengar sebuah suara membentakku, itu suara yang sangat ku kenal, suara yang selama berminggu-minggu ini menghilang..
                Itu suara Akira.
                Cepat-cepat berbalik menghadapnya, mataku membulat, di belakang Akira aku melihat Elli sedang menunduk, tetapi aku yakin dia tersenyum.
                Sialan Elli, ternyata aku salah, ternyata Elli belum menyerah.
                “Apa susahnya makan?”
                “Aku..aku tidak lapar” bisikku nyaris tidak terdengar, jantungku berdegup kencang, aku mencoba untuk tidak menatapnya, aku akan membuat jantungku semakin berdegup kencang.
                Akira mendesah, mengambil makananku. “Saya tidak perduli kamu lapar atau tidak, kmau harus tetap makan, atau kamu tambah parah dan saya tambah repot”
                “Nanti..nanti saja, aku pasti makan”
                “Jangan bertingkah seperti anak kecil Lily” ujar Akira datar, aku menggigit bibirku, dan menoleh pada Elli yang sedang menatapku, meminta pertolongan, wajahnya terlihat geli, tetapi dia tidak berkata apa-apa.
                “Saya sedang sibuk, jadi cepat makanlah dan jangan merepotkan saya, saya tidak mau mendengar kau bertingkah lagi, Elli, bisa kau awasi dia?” Akira menolehkan kepalanya ke Elli dan memberikan piring makanku, Elli mengangguk, tersenyum.
                “Kenapa kau memberitahunya?” bisikku pada Elli saat Akira sudah keluar, walaupun dalam hati aku merasa senang sekali, bukankah itu artinya Akira masih memperhatikanku? Dan lagi, dia masih tetap mengucap dirinya dengan sebutan ‘saya’ dan memanggilku dengan sebutan ‘kamu’, itulah ciri khasnya saat berbicara denganku, sesuatu yang kupikir cukup istimewa karena Akira biasanya memanggil lawannya bicaranya ‘kau, dan memanggil dirinya ‘aku’ jika dia berbicara dengan orang lain selain denganku.
Elli hanya tersenyum, dan berkata. “Makanlah cepat, atau aku akan memanggilnya lagi dan dia akan semakin marah”
                Aku mendengus, mengambil makananku dan cepat-cepat memakannya, tetapi baru setengah piring, aku sudah tidak sanggup menghabiskannya.
                “Jangan panggil dia Elli, aku benar-benar tidak bisa menghabiskannya, perutku terasa tidak enak”
                Elli menghela nafas. “Baiklah, sekarang kau istirahat saja dulu..”
                “Aku ingin pulang, aku tidak suka disini..”
                “Kau masih sakit, mungkin masih satu atau dua hari lagi baru kau bisa pulang”
                “Memangnya sakitku separah itu? Aku merasa baik-baik saja”
                “Kau belum baik-baik saja, dan kau masih ditahan disini karena kami khawatir kau akan langsung bekerja saat kau pulang dan aku yakin begitu, jadi kami pikir kau lebih baik ditahan disini sampai benar-benar sembuh” sembur Elli panjang lebar, aku mendesah.
                “Aku ingin pulang Elli, kau tidak bisa melarangku, siapa yang mengurus kebunku? Dan binatang ternakku?” ujarku keras kepala, Elli menggeleng.
                “Carter sudah meminta bantuan para Sprites untuk membantumu mengurus kebun, berhentilah mengoceh atau akan kupanggilkan Akira untukmu” jurus pamungkas Elli benar-benar membuat aku terdiam, memanggil Akira, aah, aku sebenarnya ingin sekali bertemu Akira lagi, tetapi dengan sikapnya yang seperti itu...
                “Liilyyy!!” aku tersentak mendengar seseorang memanggilku dan menoleh, kudapati Ann tersenyum lebar kepadaku, dan lebih mengejutkan lagi, dibelakangnya ramai sekali teman-temanku yang lainnya, bahkan ada Popuri. Mereka beramai-ramai masuk sekaligus, membuat kepalaku terasa pusing lagi.
                “Pengunjung tidak boleh lebih dari lima orang!” ujar Elli galak, semua mengeluh, tetapi Elli tetap menggelengkan kepalanya, mendorong para anak lelaki keluar.
                “Kenapa kami yang kau suruh keluar, Elli, masih banyak anak perempuan lain?” protes Rick.
                “Kalian bisa gantian nati, sekarang keluar dulu”
                “Baiklah baiklah..” Rick dan anak lelakinya menyerah, keluar dari ruangan, aku tertawa, dan aku yang menyesalinya seketika, karena itu cukup menguras tenaga, mataku berkunang-kunang akibatnya.
                Setelah semua anak lelaki keluar, keadaan malah menjadi hening, semua menatapku.
                Aku berdehem. “H..hai, terimakasih sudah mengunjungiku” aku tersenyum menatap mereka, mereka, kecuali Ann, membalas tersenyum dengan gugup.
                “Apa kabar Lily?” tanya Ann.
                “Semakin baik” ujarku, tetapi Elli menyanggahnya. “Tetap buruk”. Hal itu membuat semua tertawa, kecuali aku, yang tahu tertawa akan menghabiskan energiku sekarang.
                “Well, sebenarnya aku tidak terlalu menyesal kau sakit Lily, karena hal itu membuat banyak manfaat, salah satunya ini..” Ann menggeser tubuhnya kesamping dan menunjuk anak perempuan lainnya, yang tiba-tiba terlihat salah tingkah.
                “Ka..kami mau minta maaf atas sikap kami kemarin, Lily” ujar Mary terbata-bata, menatapku. Aku terkejut, tetapi entah kenapa aku tahu ini yang akan terjadi.
                “Yah well, kami benar-benar minta maaf, kau sakit pasti karena banyak pikiran, dan kami adalah salah satu penyebabnya..” cetus Karen, tersenyum lemah.
                “Aku juga mau minta maaf atas nama pribadiku, aku, aku tahu kau tidak mungkin sengaja melakukan hal itu dengan Kai.. aku, aku sungguh menyesal sudah memperlakukanmu dengan tidak baik” lanjut Popuri, matanya berkaca-kaca.
                Aku tersenyum. “Tidak masalah, aku sudah memaafkan kalian semua sejak lama, dan jangan menangis” aku menujukan kalimat terakhirku untuk Popuri, dia tersenyum, tetapi air matanya mengalir, dia mendekatiku dan memelukku erat.
                “Terimakasih Lily, sungguh, kau memang sahabat yang sangaaat baik” isak Popuri.
                “I-iya,  aku..mengerti, tapi, aku, tidak bisa-bernafas” Popuri melepaskan pelukannya dan tertawa, aku hanya balas tersenyum.
                “Nah, masalah sudah selesaikan, sekarang kalian silahkan keluar, berikutnya giliran anak laki-laki” perintah Elli, mereka semua mengucapkan ‘Semoga cepat sembuh’ kepadaku dan keluar, tak lama kemudian anak laki-laki masuk.
                “Anak perempuan langsung pulang, hai Lily, bagaimana keadaanmu? Sepertinya makin buruk” kata Cliff sambil tertawa, Gray mendekatiku dan memegang dahiku.
                “Agak panas, apakah kami menganggu?” tanyanya.
                “Tidak, tidak sama sekali. Aku malah senang kalian berkunjung”
                “Kami membawakan buah-buahan untukmu, ini juga dari anak perempuan” ucap Rick sambil meletakkan satu keranjang buah-buahan yang pasti tak sanggup ku makan diatas meja, aku tersenyum, berterimakasih.
                Percakapan kami tidak berlangsung lama, karena Elli berkata sudah waktunya bagiku untuk istirahat, sebelum keluar, Gray mendekatiku kemudian berbisik padaku.
                “Kau tahu, tadi saat menunggu aku sempat berbincang sebentar dengan Akira, apakah kalian berkelahi? Akira terlihat berbeda saat aku menanyakan tentangmu, dia terlihat marah”
                “Kami..baik-baik saja” balasku pelan, semoga suaraku tidak terdengar berbohong.
                “Yeah, semoga saja, daah, Lily, semoga cepat sembuh” Gray melambaikan tangan dan menutup tirai, aku menghela nafas, berharap Akira bisa menjengukku, sebagai teman.

***
                Aku mengintip dibalik tirai, tidak ada siapa-siapa.
                Bagus! Pikirku, aku kembali menutup tirai dan mengemaskan barang-barangku, semua ini adalah barang-barang yang Elli bawakan dari rumah karena aku membutuhkannya.
                Klontang!!!
                Aku tidak sengaja menyenggol sebuah sendok dan sendok itu terjatuh, menimbulkan bunyi yang berisik, sejenak aku membeku, mendengarkan siapa tahu ada suara orang berjalan, tetapi tidak terdengar suara apa-apa, dengan lega aku menghembuskan nafas yang sejak tadi aku tahan.
                Malam ini juga aku ingin meninggalkan klinik, rasanya menjenuhkan sekali, sehabis di kunjungi teman-temanku, Elli berkata kondisiku semakin buruk dan aku baru bisa pulang dua hari lagi, padahal aku merasa baik-baik saja. Jadi aku memutuskan pulang malam ini, saat semua orang sudah tidur, lagian aku merindukan Ryu, anjingku.
                Aku menggendong ranselku kemudian membuka tirai selembut mungkin, lampu sudah dipadamkan, ini menguntungkanku. Perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara, aku berjalan keluar dari ruangan kerja Akira, kemudian menutup pintu kerjanya.
                Tiba-tiba lampu ruangan hidup, aku tersentak.
                “Berusaha kabur?” terdengar suara datar, jantungku terasa meloncat, aku menoleh dan mendapati Akira sedang berdiri di tangga, menyentuh sakelar lampu.
                Aku diam, tidak menyahut.
                “Sudah merasa hebat ya? Bisa merawat dirimu sendiri?”
                Aku tetap membeku ditempat.
                “Mau berapa kali saya bilang..” desahnya, mengusap wajahnya. “Kenapa kamu keras kepala sekali Lily?”
                “Bukankah kau sudah berjanji tidak akan mengurusi urusanku?” selaku tiba-tiba, detik itu juga aku menyesal mengatakannya, karena raut wajah Akira langsung berubah, yang awalnya keras menjadi datar, tatapannya sedingin malam.
                “Well..” helanya, berbalik menuju tangga. “Pergilah kalau begitu, itu memang urusanmu, kalau kamu tidak mau di perdulikan, ya...terserahlah” dia berjalan menaiki tangga, aku menatapnya terbelalak, kemudian berlari menyusulnya.
                “Akira..Akira..hei” seruku, berusaha meraih tangannya. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud mengatakannya, AKIRA!” Akira berhenti, tetapi tidak berbalik, dia tetap diam dipuncak tangga.
                “Aku benar-benar minta maaf, waktu itu aku menyesal sekali” aku memijat pelipisku, tiba-tiba pusing kepalaku datang lagi.  “Aku sangat menyesal mengatakan hal itu padamu, menyuruh kau tidak ikut campur dalam urusanku, kau adalah bagian dari hidupku, sahabat terbaikku, bagaimana mungkin aku bisa... Akira, kumohon, maafkan aku..” Aku terisak, air mataku sudah tak terbendung lagi, mengalir deras.
                “Waktu itu aku sedang marah, sedang emosi, Kai mengecewakanku, dan saat aku menemui Karen dan lainnya, mereka marah padaku.. Hanya kau satu-satunya harapan bagiku Akira, tetapi kemudian..kemudian kau juga marah padaku.. Itu membuat aku frustasi, Akira.. ku mohon mengerti, jangan menganggap omonganku waktu itu serius, Akira..maaf”
                Akira mulai berjalan lagi, dengan refleks aku menarik tangannya, memeluk bahunya dari belakang.
                “Ku mohon jangan menghindariku Akira, aku tidak perduli kau marah, aku tidak perduli kau membenciku, tapi jangan menghindariku, lebih baik kau marah besar padaku daripada menghindariku, tidak mau berbicara denganku.. Jangan lakukan itu Akira, itu membuatku kacau, membuatku menderita.”
                Akira bergerak, berusaha melepas pelukan-dari belakangku- aku sendiri berusaha menahannya, tetapi sia-sia, Akira lebih kuat dariku, aku melepas tanganku, menyerah. Air mata membanjiri wajahku.
                “Kamu sebaiknya istirahat lagi..” tak diduga-duga Akira berbalik dan berujar, menatapku dengan tatapan teduh,  aku terkejut, awalnya aku menyangka dia akan masuk ke kamarnya begitu saja.
                “Akira...”
                “Badanmu mulai panas lagi”Akira memeriksa dahiku “Tidurlah, ini sudah tengah malam..”
                “Tapi aku‒”
                “Kamu butuh istirahat.. Ayo kebawah, nanti sakitmu bertambah parah” Akira mengambil alih tasku dan mengiringku menuju tangga. “Jangan menangis, aku tidak akan memarahimu lagi seperti tadi, tidak apa-apa..” tambahnya, saat melihat aku masih menangis.
                Aku benar-benar terlalu syok untuk mengerti dengan jelas perubahan sikap Akira, dia memperlakukanku seakan-akan aku memiliki depresi cukup tinggi, Akira terus-menerus memperlakukanku 180 derajat berbalik dengan beberapa menit lalu, dia terus menenangkanku, membawaku ke kasur.
                “Saya akan menemanimu, jangan khawatir”
                “Akira, ada apa denganmu?”
                Akira hanya tersenyum tipis. “Tidurlah, jangan berpikir terlalu rumit, itu tidak baik untuk kesehatanmu”
                Aku akhirnya memilih diam, membiarkan Akira memanduku ke atas tempat tidur dan menyelimutiku.

                **