Hari-hari
setelahnya berjalan cukup baik, hingga saat ini.
Besok ulang tahun Akira.
Aku ingat aku pernah berjanji
akan memberinya hadiah tahun ini, dan aku tidak ingin tidak menepatinya, janji adalah
janji, aku sudah merasa terikat. Tapi bagaimana cara memberinya hadiah? Kami
belum pernah bertegur sapa lagi, akupun tak pernah melihatnya. Aku hafal mati
jadwalnya sehingga aku dapat menghindarinya dengan mudah.
Aku terduduk di depan rak buku,
mungkin sebaiknya aku tetap memberinya hadiah, tetapi akan aku kirim lewat pos,
kemudian akan aku tulis dikertas aku hanya menepati janjiku, ya, itu ide bagus,
sekarang, apa yang harus aku berikan?
Seketika aku merasa jengkel pada
diri sendiri, kenapa aku harus begitu perduli? Aku membencinya! Tapi apa memang
begitu? Ah.. sudahlah.
Aku menatap rak buku, menjalari
setiap sisinya, kemudian mataku langsung terpaku pada suatu buku yang berwarna
kusam. Bukankah ini....
“Astaga aku baru ingat!” pekikku
pada diriku sendiri. Ini adalah buku tentang obat-obatan herbal edisi spesial,
dijual dengan pasokan terbatas, aku salah satu pembeli beruntung, aku
membelinya sudah lama sekali saat masih di kota, sebenarnya, sebenarnya ya, aku
hanya suka-suka saja membelinya, edisi spesial selalu spesial.
Aku pernah membaca buku ini, dan
isinya luar biasa, aku ingat beberapa bahan-bahan untuk beberapa jenis obat,semuanya
ada di hutan desa ini. Baiklah, aku akan memberikan buku ini ke Akira, aku
yakin dia tidak mempunyai buku ini, buku ini hanya di jual di kota. Aku juga
yakin di perpustakaan tidak ada buku ini.
Aku pergi ke supermarket dan
membeli kertas kado, aku akan membungkusnya sendiri.
“Untuk Akira ya? Kau akan
memberikannya apa?” tanya Karen, dia yang melayaniku, Ayahnya sedang tidak ada.
“Ssssttt, ini bukan untuknya”
jawabku, melotot padanya, dia tertawa.
“Sebagai penjual yang baik hati,
aku tidak akan memberitahu ke siapa-siapa kau membeli kertas kado untuk
membungkus hadiah ulang tahun Akira” Karen mengedip padaku, membuatku geram.
Tapi baiklah, aku yakin dia tidak akan memberitahu ke siapa-siapa, dengan
segera aku pulang kerumah dan membungkusnya.
Aku hanya tiba-tiba teringat pada janjiku untuk memberi kado di hari
ulang tahunmu,
Aku mengetuk-ketukkan
pulpenku, apa lagi yang harus ku tulis? Hmm.. mungkin..
Aku melanjutkan suratku.
“Apa aku harus mengucapkan
selamat ulang tahun? Sepertinya tidak perlu. Baiklah, ini saja cukup” Aku
merenggangkan jariku dan melihat lagi hasil tulisanku. Kemudian mengelemnya
diatas permukaan kado.
***
Aku
hanya tiba-tiba teringat pada janjiku untuk memberi kado di hari ulang tahunmu.
Aku
hanya berusaha menepati janji.
Kalau
kamu tidak suka atau tidak membutuhkannya, buang saja.
Kalau
pun kamu tidak merasa perlu untuk membukanya,..itu terserah kamu.
Lily.
***
Aku sudah mengirimkan kado itu
ke klinik. Perduli amat dia mau membuka kadonya atau tidak. Sekarang aku sedang
berada di Supermarket, membeli keperluan sehari-hariku.
“Hai Lily” sapa seseorang,
ternyata Elli.
“Oh, hai juga Elli”
“Akira membaca terus buku itu,
sepertinya bagus, atau gara-gara kau yang memberinya?” ocehnya sambil tertawa,
aku nyaris memukulnya dengan sayuran.
“Aku tidak perduli, aku hanya
menepati janji”
“Aku tahu, aku membaca surat
yang ditempelkan pada kado itu, kami membuka kadomu bersama-sama, dan sekedar
info, dia tersenyum geli saat membaca suratmu itu, isi suratmu penuh
kepesimisan, seakan-akan yang terjadi sebaliknya, kau takut dia membuang kado
itu, kau takut dia tidak membuka kadomu, dan memastikan kau memang ingin
memberinya kado, bukan hanya karena janji, ha ha ha” dia tertawa lagi, kali ini
aku benar-benar menimpuknya, dengan tanganku saja. Tapi entah kenapa ada ada
perasaan aneh yang menyelimuti dadaku.
“Gomen gomen.. Ini surat dari
Akira, aku tidak tahu apa isinya, tetapi bacalah, mungkin ucapan terimakasih
dan sebagainya” dia memberikanku amplop berwarna putih, aku menerimanya,
langsung menaruhnya di saku bajuku.
Dan aku cepat-cepat pulang.
Konyol memang, tetapi aku
benar-benar tidak sabar untuk membaca isinya, ada apa dengan aku? Ini aneh,
benar-benar aneh, seharusnya aku mengoyak surat ini, aku kan membencinya,
tetapi yang ada sekarang aku duduk di atas kasurku, membaca surat itu.
Dear, Lily.
Terimakasih
ya, atas kadonya.
Saya
membuka kadonya, saya juga tidak membuangnya.
Aku mendengus, apa dia sengaja
mengolokku? Tetapi aku merasa pipiku memerah. Aku melanjutkan membaca lagi.
Saya cukup terkejut dengan isinya, saya mengenal buku ini, saya tahu
ini buku edisi terbatas, hebat sekali kamu bisa mendapatkannya, saya kehabisan.
Terimakasih sudah bersedia memberikannya ke saya. Buku ini bisa membantuku
banyak.
Jujur
saja, saya tidak menyangka kamu ingat dengan hari ulang tahunku.
Lily..
Apa
kabar? Sudah lamaaaa sekali kita tidak bertemu. Saya benar-benar
merindukanmu.Sebenarnya saya ingin menemuimu, tapi kamu melarangnyakan? Saya
ingat kata-kata terakhirmu, ‘jangan pernah berbicara padaku lagi!’ , jadi
semoga surat ini bisa menjadi pengganti yang baik.
Apa kamu
masih membenciku? Sepertinya ya.
Saya
sangat menyesal Lily, saya memang pengecut, saya memang jahat, tidak
sepantasnya saya bersikap seperti waktu itu, apalagi terhadapmu,yang mati-matian
memohon maaf kepada saya. Saya benar-benar salah.
Maafkan
saya, sungguh, maafkan saya.
Semenjak
kejadian itu segalanya jadi sulit buat saya, saya sulit tidur,sulit makan,
sulit minum, sulit berpikir, hahaha, kejadian waktu itu terus menghantui saya,
bahkan dengan bekerja lebih keras, dengan menyibukkan diri, tidak membuat saya
lebih tenang.
Saya
sengaja memberikan surat ini untukmu karena ada sesuatu yang ingin saya
sampaikan.
Lily
Vandera, bisakah kamu datang, malam ini pukul tujuh, ke Mother Hill?
Jika kamu
tidak ingin, tidak apa-apa.
Salam Rindu.
Akira
Aku memegang erat surat itu. Lagi-lagi perasaan yang aneh menyelimuti
tubuhku. Ini antara campuran perasaan senang, gugup, tetapi juga gentar. Aku
membaca ulang surat itu, hingga tatapanku terfokus pada kalimat-kalimat
terakhirnya.
Dia menyuruhku menemuinya?
Astaga, apa dia sudah gila? Tentu saja aku tidak mau datang. Ini harus
dicegah, atau dia akan menunggu hingga pagi menjelang.
Aku akhirnya menulis balasan, bisa ku
titipkan pada siapapun yang bisa ku titipkan nanti.
Aku hanya ingin mengingatkan, jangan
habiskan waktu untuk menunggu. Karena aku tak akan repot-repot untuk datang.
Aku melihat ulang isinya, benar, seperti ini, ketus dan tidak perduli.
Aku bergegas keluar, walaupun aku berjalan pelan-pelan, berharap
bertemu seseorang, dan doaku terkabul, aku bertemu Ann.
"Ann! Sayangku!" panggilku nyaris berteriak, dia menoleh.
"Sepertinya kau menginginkan sesuatu dariku, dari nada
bicaramu"
"Kau benar kawan, kau berbakat jadi detektif" Ann memutar
bola matanya, aku terkekeh.
"Apa yang kau butuhkan?"
"Er.." Tiba-tiba aku menjadi gugup. "Ann.. Begini,
bisakah kau memberikan surat ini ke Akira?"
"Surat? Ke Akira?" Dia menatap surat yang ku sodorkan. "Ya,
please."
"Kenapa tidak kau sendiri saja yang memberikannya?"
"Aku..kau tahulah"
Dia menimbang-nimbang sebentar.
"Please please please" bujukku
"Baiklah" desahnya. "Hanya memberikan surat ini padanya
kan?"
"Ya! Jangan dibaca ya, terimakasih!" ujarku sambil kemudian
meninggalkannya. Semoga saja Akira tidak bertindak bodoh.
Akira tak membalas surat itu. Lagian, untuk apa juga sebenarnya dia
membalasnya? Aku tak perduli. Elli tak berkata apa-apa juga, ini sudah
semingguan berlalu sejak kejadian aku menyuratinya untuk terakhir kali. Dan aku
tetap belum berbicara dengannya, belum bertemu dengannya. Bodoh amat.
Hari ini aku sedang di kebun, memangkas tanaman-tanaman yang sudah
kering, beberapa hari lagi, mungkin sekitar tiga hari lagi, musim dingin akan
tiba.
Aku sedang memangkas tanaman terakhir, saat seseorang memanggilku
dengan suara familiarnya, membuatku jantungku terasa berhenti, mendongak,
lihatlah, di depanku, berjarak beberapa meter, berdiri seseorang yang selama
ini ku kenal, yang selama ini kujauhi, yang selama ini kubenci.
Akira, dengan jaket musim dinginnya, berdiri menatapku.
Dia mendekatiku, tersenyum gugup, tetapi aku mundur, kemudian lari
melewatinya, memasuki rumahku, menguncinya. Tidak, aku tidak akan berbicara
sepatah katapun dengannya.
"Lily..." Akira mengetuk pintu. "Saya mohon buka
pintunya, kita harus berbicara"
Aku tetap diam.
"Lily.. Ini sudah hampir sebulan sejak terakhir kali kita
bertemu"
Menyahut pun aku tidak akan melakukannya.
"Kita harus menyelesaikannya Lily. Saya akan menunggu disini
hingga kamu keluar" setelah itu dia tidak berbicara lagi, hanya ada
terdengar gemerisik, sepertinya Akira duduk di dekat pintu rumahku.
Sialan Akira, apa yang ada di pikirannya? Ini sudah mendekati musim
dingin, udara sudah menjadi beku dan cuaca tidak menentu. Kenapa dia nekat
sekali? Tetapi terserah saja, aku tidak akan membukakan pintu.
Dengan jengkel aku berjalan menuju kasur, menghempaskan diriku diatas
benda empuk itu.
Satu menit..
Lima menit..
Tiga puluh menit..
Satu jam..
Dua jam..
Aku akhirnya bangkit dari tempat tidurku. Mengintip dari jendela, siapa
tahu dia tidak serius dan akhirnya memutuskan untuk pergi.
Ternyata lagi-lagi aku salah. Tentu saja si keras kepala itu memutuskan
tetap disana, tidak akan pergi.
Aku menghela nafas, Akira, maumu apaan sih?!
Aku mengambil note di mejaku dan menulis beberapa kata, lagi-lagi aku
bertingkah seperti anak-anak, hanya berkirim surat.
Pergilah Akira, kumohon...
Aku menyelipkannya di sela-sela pintu, semoga dia membaca.
"Saya akan tetap menunggu, Lily, sampai kita menyelesaikan
permasalahan kita" ucap Akira di balik pintu, dia membacanya.
Aku mendesah kecewa, kalau begitu terserahlah. Lebih baik aku mengurus
diriku sendiri.
***
Akhirnya dia pulang saat tengah malam tiba, tentu saja aku tahu karena
aku tidak bisa tidur hingga pukul segitu, terus menerus (entah kenapa)
memikirkannya.
Esoknya, kupikir ia sudah menyerah, tetapi Akira memang orang yang
teguh pendirian, hingga tiga hari ke depan dia terus mengunjungiku, dari pukul
empat sore hingga tengah malam. Di hari yang penuh hujan, berangin, bahkan
hingga akhirnya di hari yang bersalju, benar, musim dingin sudah tiba.
Suatu pagi, seseorang mengetuk pintuku dengan kencang, berkali-kali,
aku dengan jengkel karena masih ingin menikmati tidur, berjalan terseok-seok
membuka pintu, tampak di depanku Elli berdiri.
"Lily.." bisiknya cemas, perlahan kesadaran mulai
menyelimutiku.
"Ya? Ada apa kemari pagi-pagi, Elli?"
"Maaf mengganggumu, aku hanya takut tak bisa bertemu denganmu, aku
hanya ingin memberitahumu.. Tentang Akira"
Aku sekarang sepenuhnya terjaga.
"Ada apa memangnya? Dia bukan urusanku" tukasku pura-pura tak
perduli, padahal aku penasaran setengah mati.
"Kau harus tahu. Akira sakit Lily, aku barusan memeriksanya,
badannya panas sekali"
Aku berusaha mengatur ekspresiku.
"Dan, hubungannya denganku?" Tanyaku berusaha sedingin
mungkin.
"Mungkin kau masih marah dengannya Lily, tapi kumohon, kumohon
bicaralah dengannya, aku yakin malam ini dia akan kesini lagi, bagaimana pun
keadaannya. Berbaikanlah, kau lihatkan, bagaimana dia begitu pantang menyerah,
dia amat menyesal Lily"
"Itu memang kesalahannya, Elli"
"Tapi kau harusnya mengerti!" Suara Elli meninggi, membuat
aku tersentak. "Lily apa kau tega? Apa kau tega menyiksa Akira seperti
itu? Kau sahabatnya!"
"Kenapa kau begitu perduli, Elli?"
"Karena kalian berdua sahabatku!" teriaknya.
"Berbaikanlah, please..."
Aku tersenyum tanggung. "Entahlah Elli, sebaiknya kau pulang saja,
aku akan mengurusnya
nanti"
Elli menatapku setengah tak percaya setengah putus asa, tapi dia
menurutiku, beranjak pulang.
Aku menyibukkan hari itu dengan mengurus peternakan dan belanja, di
perjalanan aku bertemu Ann.
"Hai Ann.." sapaku
"Hai juga Lily, lama tak melihatmu"
"Baru juga sehari, kau seakan-akan pacarku saja" ucapku,
memutar bola mata, dia tertawa.
"Sekedar info, berita bahwa Akira setiap hari menunggu di depan
rumahmu sudah tersebar ke seluruh penjuru"
Aku menghela nafas. "Apakah dari gosip wanita?" Ann
mengangguk mantap. "Kapan kau akan berbaikan dengannya?" Ini
pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda.
Aku mendesah "Kapan-kapan, bye, Ann" aku melambaikan tangan,
melanjutkan tujuanku.
***
Ucapan Elli terbukti benar, hari ini salju turun cukup lebat, dan Akira
tetap ada di luar sana, sendiri dengan jaket musim dinginnya.
Aku juga duduk di balik pintu, menelungkupkan kepalaku di dalam lutut,
bagaimanalah ini, apa yang harus aku lakukan? Di dalam sini saja, dengan
perapian, jaket tebal dan ruangan kering, tetap terasa dingin, apalagi di luar
sana? Dengan cuaca yang ekstrem, Akira.. Kenapa kau melakukan ini?
Satu jam..
Dua jam..
Aku akhirnya berdiri, aku harus menyelesaikannya sekarang, ini sudah
hampir jam dua belas malam, aku harus keluar sebelum Akira pulang, harus, Lily,
kau harus membuangkan egomu.
Aku membuka pintu, membuat udara dingin langsung menerpa, astaga,
bagaimana mungkin Akira bisa bertahan di situasi seperti ini.
"Lily!" Terdengar suara serak Akira memanggil, terkejut
sekaligus senang melihatku akhirnya membuka pintu. Aku menoleh, menatap sedih
Akira, lihatlah, wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar. Dengan perlahan dia
berdiri, tersenyum menatapku kemudian memelukku. Erat, sangat erat.
"Lily..Lily.. Saya sungguh minta maaf"
"Akira..." Aku membalas pelukannya. "Kenapa kau bodoh
sekali, menunggu di luar di hari bersalju, di hari hujan, apa yang sebenarnya
kau pikirkan? Elli bilang kau sakit, kenapa kau datang?"
"Sata..saya harus" nafasnya terdengar berat. "Saya
benar-benar minta maaf.. Li..ly.."
Setelah itu sunyi.. Akira tak berkata apa-apa lagi.. Hanya suara salju
jatuh yang terdengar, Akira sepertinya kehabisan tenaga, seluruh berat tubuhnya
ditopangkan kepadaku, aku mengeluh.
"Akira... Kau berat seka..li"
Tidak ada sahutan, aku berusaha melepaskan diri, gagal, kami berdua
sama-sama terjatuh, dan Akira tidak bereaksi sama sekali.
Astaga, sepertinya Akira pingsan! Aku menariknya ke dalam dan menutup
pintu, agar udara dingin tidak masuk, kemudian bergegas memeriksa tubuh Akira,
lihatnya tubuhnya sedingin es, dan dia menggigil, apa yang harus di lakukan?
Apa aku harus memanggil Elli?
Lama berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk tidak memanggil Elli.
Dalam cuaca seperti ini di malam hari tidak mungkin aku pergi keluar apalagi
meninggalkan Akira sendiri, jadi akhirnya aku membawa Akira ke atas tempat
tidurku (Ini sangat sulit) dan menyelimutinya dengan berlapis-lapis selimut,
aku juga melepas jaketnya yang basah. Kemudian aku mengambil kompres dan
mengompreskannya pada dahi Akira.
"Kenapa kau bodoh sekali..bodoh.. Sangat bodoh" gumamku
sambil menyeka dahinya.
Aku merawat Akira hingga entah pukul berapa, aku tidak mungkin ikut
tidur di sebelahnya, jadi aku hanya bisa duduk di lantai, mengganti kompresan,
menjaganya.
***
"Hhmm.." aku menggumam, merenggangkan sendi-sendi tubuhku,
kemudian menyipit menatap jendela, di luar cerah, pasti sudah pagi. Astaga,
semalam aku ketiduran.
Aku menatap sekeliling dan menyadari aku sudah berada di atas kasurku, siapa
yang memindahkanku? Seingatku kemarin aku sedang duduk di lantai, dan, dimana
Akira?.
"Hai, tidurmu nyenyak?" sapa seseorang, aku mendongak
sebentar dan mendapati sosok Akira sedang tersenyum, dengan cepat aku
berpaling, entah kenapa rasa marahku muncul lagi ke permukaan.
Akira menghela nafas.
"Makanlah, saya masak omelet, dan membuatkanmu susu, isi kulkasmu
lengkap sekali" ujarnya sambil tertawa, aku diam, tidak menghiraukannya.
"Terimakasih ya, sudah menjaga saya semalam"
"Jelas, aku tidak mau di tuduh ini dan itu, jadi aku terpaksa
menjagamu semalam"
"Kamu masih marah ya? Padahal kupikir saat kau membuka pintu
kemarin kamu sudah memaafkan saya..." aku bisa merasakan kesedihan dalam
ucapannya. Tetapi, apa aku akan menyerah begitu saja? Tidak, Akira.
"Aku hanya membuka pintu untuk menyuruhmu pulang, karena Elli
mengabariku kalau kau sakit"
"Hmm.." Akira tampak berpikir. "Tetapi sepertinya
semalam kamu menerima pelukanku bahkan membalasnya"
Astaga, kenapa dia mengingat hal itu? Aku merasakan panas pada wajahku.
"Itu sepertinya kan?" balasku ketus sambil beranjak dari
tempat tidur. "Kau kemarin sakit dan orang sakit itu banyak mengkhayalnya,
kau pikir untuk apa aku memelukmu? Sudahlah, jangan mengharap yang tidak-tidak,
permisi!" Aku mendorongnya dan berjalan menuju pintu, saat ku buka
pintunya, tampak Elli berada di depan pintu, salah tingkah melihatku yang
tiba-tiba membuka pintu, apa dia mendengarkan? Bagus, dasar wanita penggosip.
"Kalau kau mengkhawatirkannya, dia ada di dalam" desisku,
tanpa melihat kepadanya, aku langsung berlari menuju hutan.
***