“Nanti
sore ke rumahku ya, kita akan merayakan Starry
Night Festival, kau ada waktu kan?” ajakku pada Akira, kami sedang duduk di
tepi pantai.
“Ah
iya, baiklah, pukul berapa?”
“Jam
lima bagaimana?”
Akira
mengangguk. “Kalau begitu sebagainya kamu siap-siap dulu, kamu belum masak
kan?” tanyanya, aku mengangguk, menyeringai.
”Nah
pergilah, jam lima nanti saya akan datang” aku mengangguk lagi, pergi menuju
rumah, tunggu saja Akira, aku akan berusaha keras untuk malam ini.
“Bagaimana?
Enak bukan?” tanyaku saat dia merasa masakanku, ini masakan spesial, khusus
untuk Akira.
“Seperti
biasa, enak, kamu memang calon istri yang hebat” godanya, terkekeh, sedangkan
jantungku langsung berdegup kencang, wajahku terasa panas.
“Kenapa
wajahmu seperti kepiting rebus begitu?” tanyanya jail, aku menggeleng.
“Habiskan
sajalah, jangan banyak bicara” tukasku, dia tersenyum, melanjutkan makan.
Selesai makan kami mengobrol tentang beberapa hal, sampai akhirnya waktu
menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Saya
pulang dulu ya, kamu juga harus istirahat, sudah malam” ujarnya lembut, aku
mengangguk, tidak terlalu fokus sebenarnya, meminum terlalu banyak wine sedikit membuat pikiranku
kehilangan fokus.
“Hati-hati
di jalan, Akira.”
“Tentu
saja, lagian siapa yang akan mencelakaiku? Hantu?”
“Mungkin
saja” sahutku defensif, dia tertawa, mengacak rambutku.
“Ada-ada
saja, bye, sampai ketemu besok ya,
kalau kamu tidak sibuk” bisik Akira sambil mengecup puncak kepalaku.
“Aku
mencintaimu” bisikku pelan.
“Saya
milikmu”
Aku
menengadahkan kepalaku, menatap matanya
yang sehitam malam, kemudian mengelus pipinya. “Akira....” gumamku, mendekatkan
wajahku padanya, memejamkan mataku.
“Lily...
h-hei, kamu ngapain” ujarnya bingung, mendorong bahuku dengan tegas, aku merasa
linglung, pengaruh Wine terlalu kuat bagiku.
“Cium
aku” desisku, berusaha mendekatkan diriku lagi padanya, tetapi dia tetap
memegang bahuku agar aku tidak bergerak.
“Kamu
pasti terlalu banyak minum wine, ya
kan?”
“Aku
teringat ciumanku dengan Kai” renungku, Akira mematung, aku yakin dia tidak
senang nama Kai di sebut-sebut disini, apalagi dengan adegan ciuman itu.
“Aku
sadar, dia luar biasa, kau tahu.. tetapi aku tahu kau lebih lebih dan lebih,
aku ingin menghapus kenangan itu dengan...dengan ciumanmu” astaga, kenapa aku
mengatakannya tanpa pikir-pikir dulu, ini gila.
“Saya
tidak ingin saya melakukannya hanya gara-gara Kai” ujarnya tajam, aku
menggeleng.
“Kau
tidak mengalaminya, kau tidak tahu betapa inginnya aku...” aku tidak
menyelesaikan perkataanku, menyambar bibirnya cepat, tapi terlambat, Akira
lebih dulu bereaksi, dia memberi dinding antara kedua bibir kami dengan telapak
tangannya, sialan.
“Lily..hen-ti-kan!”
tegurnya dengan tegas, kembali mendorong bahuku jauh-jauh, walaupun aku sudah
berusaha sekuat tenaga, tetap saja dia yang akan menang.
“Kamu
harus tidur, pikiranmu sedang kacau” dia menarik lenganku, sedikit keras,
membawaku ke tempat tidur, aku menurutinya.
“Saya
sebaiknya pulang, kamu jaga diri baik-baiknya, jangan bertingkah macam-macam”
Akira menyelimutiku, bisa kurasakan tatapannya yang menyiratkan perasaan pedih,
apakah kata-katakulah penyebabnya? Atau perilakuku?.
“Tidurlah,
sayangku, mimpi yang indah-indah, kamu cintaku satu-satunya, dan... aku
berjanji suatu saat nanti akulah yang akan menjadi satu-satunya milikmu” dia
mengecup keningku sebelum akhirnya meninggalkan rumahku. Aku terlalu pusing dan
mengantuk untuk berpikir makna kalimat Akira yang aneh barusan.
***
“Elli...
berikan ini pada Akira ya, ini makan siangnya” bisikku pelan, berusaha agar
Akira tidak mendengar, aku sedang berada dalam klinik, di meja resepsionis.
“Kenapa
memangnya? Kalian tidak berkelahikan?” balasnya sambil berbisik juga. Aku menggeleng
kuat.
“Aku
hanya sedikit....malu.., sekarang aku pergi-“
“Elli,
kau memberiku dokumen yang salah, ini adalah dokumen tentang rumput-rumputan di
kota kita, bukan kota sebelah, eh, hai Lily, ada apa?”
Itu
adalah suara Akira, dia sekarang berada di belakangku, aku mematung seketika,
merasa wajahku memerah, sedangkan Elli menatap kami berdua bergantian.
“A-aku
pergi dulu Elli, b-bye” dan sebelum mereka berdua sadar, aku sudah mengacir
keluar.
“Ada
apa dengannya?” tanya Akira kepada Elli di dalam, sedangkan aku sudah menjauh
dari klinik.
Elli
mengangkat bahu.
“Dia
bilang dia malu atau semacamnya, memangnya ada apa?” tanya Elli balik, Akira
diam, berpikir, lantas beberapa detik kemudian terkejut.
“Jangan-jangan....kalau
begitu aku harus segera menyusulnya” ujarnya pada diri sendiri, membuat Elli
semakin bingung.
Aku?
Kali ini aku berada di dalam Spring Mine (Gua) di Mother’s Hill. Aku tidak mau
Akira menemuiku, dia pasti sedang mencari-cariku sekarang, bingung atas ulahku
barusan.
Saat
bangun tidur tadi pagi, aku masih teringat kejadian semalam, walaupun saat itu
dalam pengaruh Wine, entah kenapa aku bisa mengingat semua kejadiannya, hanya
beberapa kejadian yang tidak jelas, salah satunya adalah bagian paling akhir,
saat Akira mengatakan sesuatu-entah apa- padaku.Kejadian aku hampir menciumnya
itu? Aku ingat sangat sangat jelas.
Itu
membuatku malu, aku tidak tahu dorongan apa yang membuatku nyaris menciumnya
kemarin, itu sungguh hal yang gila, apa yang ada dipikiran Akira sekarang? Dia
pasti jijik padaku, lihatlah, aku perempuan, tetapi bersikap begitu agresif,
dan semalam aku mengungkit-ungkit masalah ciumanku dengan Kai, menyebut Kai
luar biasa pula. Astaga, itu sudah cukup untuk membuat Akira membenciku.
“Aaaaaaa...
aku maluu sekaliiii, kenapa..kenapa..kenapaaaa” teriakku pada diri sendiri,
melempar batu-batu kecil di sekitarku.
“Kamu
malu kenapa?” tanya sebuah suara, membuatku tersentak.
“A-a-a-kira,
kenapa kau bisa tahu aku di sini?”
“Saya
tanya pada Dewi Panen” cengirnya lebar. “Dia tahu segalanya”
“Pergilah..aku
ingin sendiri dulu” pintaku muram, tetapi Akira malah mendekatiku.
“Kamu
tidak perlu malu, saya mengerti kemarin kamu melakukannya gara-gara pengaruh wine”
“Kau
seharusnya marah padaku”
“Untuk
alasan apa?”
“Karena
aku bersikap ceroboh”
“Apa
kamu ingin saya marah padamu?”
“Menyimpan
kekecewaanmu di dalam pikiranmu sendiri itu tidak baik..”
Aku
tidak menjawab.
“Aku
minta maaf Akira...”
“Kamu
tidak salah” dia menatapku, tersenyum hangat.
“Aaaaah...
apakah aku cocok dengamu” keluhku, membenamkan kepalaku diantara lutut. “Kau
begitu dewasa, begitu berhati-hati, sedangkan aku bersikap seperti anak-anak,
sembrono, seenaknya-“
“Lily,
angkat kepalamu” sela Akira, suaranya terdengar garang, membuatku terkejut.
“Tidak..aku
tidak mau, aku malu sekali padamu..” sergahku.
“Saya
memaksa..” ucapnya tegas, membuatku akhirnya menatapnya, tatapannya tajam.
“Kali
ini saya marah padamu” geramnya. “Kamu tidak seharusnya berkata begitu Lily,
kamu adalah milik saya, saya menerimamu apa adanya, saya mencintaimu sepenuhnya
Lily”
Kali
ini aku melongo, sedetik kemudian perasaanku buncah oleh eurofia bahagia, apa
aku tidak salah dengar? Dia mengucapkan kalimat itu untuk pertama kali, kalimat
cintanya.
“Terimakasih
Akira, sungguh, terimakasih banyak”
***
Musim dingin akhirnya berlalu,
itu adalah musim dingin terindah yang pernah aku rasakan, dimana Akira
memintaku menjadi kekasihnya, dimana aku lebih sering bersama Akira,
membawakannya makan siang, makan malam, berjalan-jalan keliling desa, menonton
festival, menikmati terbitnya matahari pertama di tahun baru. Semuanya
menyenangkan, amat menyenangkan. Semua remaja tanggung di desa ini tahu kami
resmi menjadi sepasang kekasih, entahlah dengan para orangtua, mungkin ibu-ibu
yang sering menggosip di alun-alun kota sudah tahu.
Semua berjalan lancar
dan menyenangkan, Akira sangat pandai memperlakukanku dan menanggapi
sifat-sifat burukku, seperti sifat keras kepalaku, sifat kekanak-kanakkanku, sifat
manjaku, dan lain sebagainya, dia benar-benar dewasa. Betapa beruntungnya aku
mempunyai dia.
"Akira...!" panggilku, dia mendongak, kami berada
di ruangannya.
"Ada apa?" dia tersenyum kalem, aku balas
tersenyum.
"Apa kabar? Lama
tidak bertemu" kali ini benar, beberapa waktu lalu sudah pertengahan musim
semi, saat itu aku sedang panen besar sehingga sangat sibuk dan tidak sempat
menemuinya.
“Saya baik, bagaimana
denganmu?"
"Sangaaaat baik,
ini untukmu, buah-buahan, sayuran, dan beberapa tumbuhan obat-obatan, aku baru
panen"
Dia menerima
pemberianku, mengangguk.
"Jangan memaksakan
dirimu ya saat bekerja, minumlah vitamin dan cukupkan istirahatmu, kamu
sehatkan?" ujarnya pelan, inilah salah satu cara Akira menunjukkan
kepeduliannya padaku.
"Ya, aku sehat
Akira"
"Saya selalu kagum
padamu, dulu kupikir kamu adalah petani yang lemah, ternyata sebaliknya, kamu
luar biasa, memberi kehidupan untuk desamu dengan hasil panenmu" pujinya
tulus, aku tertawa.
"Sudah dulu ya
Akira, aku mau memberi ini ke tetangga yang lain, daah" aku melambai, dia
mengangguk, tepat sebelum aku menutup pintu.
Saat pintu sudah tertutup
aku menghela nafas pelan, lihatlah, Akira tidak menunjukkan sikap dia
merinduiku, ah, aku menggelengkan kepala, tidak masalah, bersikap seperti biasa
saja, Lily. Tidak perlu berlebihan.
"Minggu depan aku
mau mengadakan pesta kebun musim panas" ujarku pada Akira, lagi-lagi kami
sedang berada di ruangan kerja Akira, dia sedang sibuk dan aku sedang santai di
kursi.
"Hmm.."
"Aku akan
mengundang semua teman-teman kita, para orang tua mungkin tidak.. Tapi aku akan
mengantarkan makanan ke mereka"
"Ya.."
"Aku akan memesan
kembang api dari kota, ah ya, pesan sama Kai saja"
"...."
"Mungkin mereka
semua akan duduk ditikar, aku tidak punya kursi banyak"
"Hhhmm"
Aku melirik Akira,
apakah dia benar-benar mendengarkanku? Seperti dia hanya menyahut begitu saja,
ah, Akira sibuk sekali.
"Akira.."
"Ya?" sahutnya
tanpa memalingkan wajahnya dari pekerjaannya.
Aku tidak membalas,
hanya menatap kesibukannya.
"Ada apa,
Lily?" akhirnya dia mendongak.
"Aku hanya
memanggilmu saja" seringaiku, dia memutar bola mata, kemudian melanjutkan
pekerjannya.
"Kau sibuk sekali,
aku pulang dulu ya, lagian aku ingin menyiapkan daftar keperluan pesta"
Akira mendongak lagi.
"Pesta apa?"
Aku mengeluh,
"Pesta yang tadi aku bilang, pesta kebun musim panas, aku akan mengundang
teman-teman kita"
Dia diam sebentar,
kemudian mengangguk, dasar, dia pasti hanya pura-pura ingat, padahal
mendengarkanpun tidak.
"Dah, Akira, kau
jangan memaksakan dirimu bekerja, istirahatlah, aku tidak mau kau sakit"
"Tumben kamu
khawatir pada saya?" godanya, "Tenanglah, saya akan baik-baik
saja"
Aku hanya mengangguk,
langsung keluar, ah, Akira selalu saja sibuk.
***
0 komentar:
Posting Komentar