RSS

Desa Mineral -12-

“Nanti sore ke rumahku ya, kita akan merayakan Starry Night Festival, kau ada waktu kan?” ajakku pada Akira, kami sedang duduk di tepi pantai.
“Ah iya, baiklah, pukul berapa?”
“Jam lima bagaimana?”
Akira mengangguk. “Kalau begitu sebagainya kamu siap-siap dulu, kamu belum masak kan?” tanyanya, aku mengangguk, menyeringai.
”Nah pergilah, jam lima nanti saya akan datang” aku mengangguk lagi, pergi menuju rumah, tunggu saja Akira, aku akan berusaha keras untuk malam ini.

“Bagaimana? Enak bukan?” tanyaku saat dia merasa masakanku, ini masakan spesial, khusus untuk Akira.
“Seperti biasa, enak, kamu memang calon istri yang hebat” godanya, terkekeh, sedangkan jantungku langsung berdegup kencang, wajahku terasa panas.
“Kenapa wajahmu seperti kepiting rebus begitu?” tanyanya jail, aku menggeleng.
“Habiskan sajalah, jangan banyak bicara” tukasku, dia tersenyum, melanjutkan makan. Selesai makan kami mengobrol tentang beberapa hal, sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Saya pulang dulu ya, kamu juga harus istirahat, sudah malam” ujarnya lembut, aku mengangguk, tidak terlalu fokus sebenarnya, meminum terlalu banyak wine sedikit membuat pikiranku kehilangan fokus.
“Hati-hati di jalan, Akira.”
“Tentu saja, lagian siapa yang akan mencelakaiku? Hantu?”
“Mungkin saja” sahutku defensif, dia tertawa, mengacak rambutku.
“Ada-ada saja, bye, sampai ketemu besok ya, kalau kamu tidak sibuk” bisik Akira sambil mengecup puncak kepalaku.
“Aku mencintaimu” bisikku pelan.
“Saya milikmu”
Aku menengadahkan kepalaku,  menatap matanya yang sehitam malam, kemudian mengelus pipinya. “Akira....” gumamku, mendekatkan wajahku padanya, memejamkan mataku.
“Lily... h-hei, kamu ngapain” ujarnya bingung, mendorong bahuku dengan tegas, aku merasa linglung, pengaruh Wine terlalu kuat bagiku.
“Cium aku” desisku, berusaha mendekatkan diriku lagi padanya, tetapi dia tetap memegang bahuku agar aku tidak bergerak.
“Kamu pasti terlalu banyak minum wine, ya kan?”
“Aku teringat ciumanku dengan Kai” renungku, Akira mematung, aku yakin dia tidak senang nama Kai di sebut-sebut disini, apalagi dengan adegan ciuman itu.
“Aku sadar, dia luar biasa, kau tahu.. tetapi aku tahu kau lebih lebih dan lebih, aku ingin menghapus kenangan itu dengan...dengan ciumanmu” astaga, kenapa aku mengatakannya tanpa pikir-pikir dulu, ini gila.
“Saya tidak ingin saya melakukannya hanya gara-gara Kai” ujarnya tajam, aku menggeleng.
“Kau tidak mengalaminya, kau tidak tahu betapa inginnya aku...” aku tidak menyelesaikan perkataanku, menyambar bibirnya cepat, tapi terlambat, Akira lebih dulu bereaksi, dia memberi dinding antara kedua bibir kami dengan telapak tangannya, sialan.
“Lily..hen-ti-kan!” tegurnya dengan tegas, kembali mendorong bahuku jauh-jauh, walaupun aku sudah berusaha sekuat tenaga, tetap saja dia yang akan menang.
“Kamu harus tidur, pikiranmu sedang kacau” dia menarik lenganku, sedikit keras, membawaku ke tempat tidur, aku menurutinya.
“Saya sebaiknya pulang, kamu jaga diri baik-baiknya, jangan bertingkah macam-macam” Akira menyelimutiku, bisa kurasakan tatapannya yang menyiratkan perasaan pedih, apakah kata-katakulah penyebabnya? Atau perilakuku?.
“Tidurlah, sayangku, mimpi yang indah-indah, kamu cintaku satu-satunya, dan... aku berjanji suatu saat nanti akulah yang akan menjadi satu-satunya milikmu” dia mengecup keningku sebelum akhirnya meninggalkan rumahku. Aku terlalu pusing dan mengantuk untuk berpikir makna kalimat Akira yang aneh barusan.

***
“Elli... berikan ini pada Akira ya, ini makan siangnya” bisikku pelan, berusaha agar Akira tidak mendengar, aku sedang berada dalam klinik, di meja resepsionis.
“Kenapa memangnya? Kalian tidak berkelahikan?” balasnya sambil berbisik juga. Aku menggeleng kuat.
“Aku hanya sedikit....malu.., sekarang aku pergi-“
“Elli, kau memberiku dokumen yang salah, ini adalah dokumen tentang rumput-rumputan di kota kita, bukan kota sebelah, eh, hai Lily, ada apa?”
Itu adalah suara Akira, dia sekarang berada di belakangku, aku mematung seketika, merasa wajahku memerah, sedangkan Elli menatap kami berdua bergantian.
“A-aku pergi dulu Elli, b-bye” dan sebelum mereka berdua sadar, aku sudah mengacir keluar.
“Ada apa dengannya?” tanya Akira kepada Elli di dalam, sedangkan aku sudah menjauh dari klinik.
Elli mengangkat bahu.
“Dia bilang dia malu atau semacamnya, memangnya ada apa?” tanya Elli balik, Akira diam, berpikir, lantas beberapa detik kemudian terkejut.
“Jangan-jangan....kalau begitu aku harus segera menyusulnya” ujarnya pada diri sendiri, membuat Elli semakin bingung.

Aku? Kali ini aku berada di dalam Spring Mine (Gua) di Mother’s Hill. Aku tidak mau Akira menemuiku, dia pasti sedang mencari-cariku sekarang, bingung atas ulahku barusan.
Saat bangun tidur tadi pagi, aku masih teringat kejadian semalam, walaupun saat itu dalam pengaruh Wine, entah kenapa aku bisa mengingat semua kejadiannya, hanya beberapa kejadian yang tidak jelas, salah satunya adalah bagian paling akhir, saat Akira mengatakan sesuatu-entah apa- padaku.Kejadian aku hampir menciumnya itu? Aku ingat sangat sangat jelas.
Itu membuatku malu, aku tidak tahu dorongan apa yang membuatku nyaris menciumnya kemarin, itu sungguh hal yang gila, apa yang ada dipikiran Akira sekarang? Dia pasti jijik padaku, lihatlah, aku perempuan, tetapi bersikap begitu agresif, dan semalam aku mengungkit-ungkit masalah ciumanku dengan Kai, menyebut Kai luar biasa pula. Astaga, itu sudah cukup untuk membuat Akira membenciku.
“Aaaaaaa... aku maluu sekaliiii, kenapa..kenapa..kenapaaaa” teriakku pada diri sendiri, melempar batu-batu kecil di sekitarku.
“Kamu malu kenapa?” tanya sebuah suara, membuatku tersentak.
“A-a-a-kira, kenapa kau bisa tahu aku di sini?”
“Saya tanya pada Dewi Panen” cengirnya lebar. “Dia tahu segalanya”
“Pergilah..aku ingin sendiri dulu” pintaku muram, tetapi Akira malah mendekatiku.
“Kamu tidak perlu malu, saya mengerti kemarin kamu melakukannya gara-gara pengaruh wine
“Kau seharusnya marah padaku”
“Untuk alasan apa?”
“Karena aku bersikap ceroboh”
“Apa kamu ingin saya marah padamu?”
“Menyimpan kekecewaanmu di dalam pikiranmu sendiri itu tidak baik..”
Aku tidak menjawab.
“Aku minta maaf Akira...”
“Kamu tidak salah” dia menatapku, tersenyum hangat.
“Aaaaah... apakah aku cocok dengamu” keluhku, membenamkan kepalaku diantara lutut. “Kau begitu dewasa, begitu berhati-hati, sedangkan aku bersikap seperti anak-anak, sembrono, seenaknya-“
“Lily, angkat kepalamu” sela Akira, suaranya terdengar garang, membuatku terkejut.
“Tidak..aku tidak mau, aku malu sekali padamu..” sergahku.
“Saya memaksa..” ucapnya tegas, membuatku akhirnya menatapnya, tatapannya tajam.
“Kali ini saya marah padamu” geramnya. “Kamu tidak seharusnya berkata begitu Lily, kamu adalah milik saya, saya menerimamu apa adanya, saya mencintaimu sepenuhnya Lily”
Kali ini aku melongo, sedetik kemudian perasaanku buncah oleh eurofia bahagia, apa aku tidak salah dengar? Dia mengucapkan kalimat itu untuk pertama kali, kalimat cintanya.
“Terimakasih Akira, sungguh, terimakasih banyak”

***

Musim dingin akhirnya berlalu, itu adalah musim dingin terindah yang pernah aku rasakan, dimana Akira memintaku menjadi kekasihnya, dimana aku lebih sering bersama Akira, membawakannya makan siang, makan malam, berjalan-jalan keliling desa, menonton festival, menikmati terbitnya matahari pertama di tahun baru. Semuanya menyenangkan, amat menyenangkan. Semua remaja tanggung di desa ini tahu kami resmi menjadi sepasang kekasih, entahlah dengan para orangtua, mungkin ibu-ibu yang sering menggosip di alun-alun kota sudah tahu.
Semua berjalan lancar dan menyenangkan, Akira sangat pandai memperlakukanku dan menanggapi sifat-sifat burukku, seperti sifat keras kepalaku, sifat kekanak-kanakkanku, sifat manjaku, dan lain sebagainya, dia benar-benar dewasa. Betapa beruntungnya aku mempunyai dia.
"Akira...!" panggilku, dia mendongak, kami berada di ruangannya.
"Ada apa?" dia tersenyum kalem, aku balas tersenyum.
"Apa kabar? Lama tidak bertemu" kali ini benar, beberapa waktu lalu sudah pertengahan musim semi, saat itu aku sedang panen besar sehingga sangat sibuk dan tidak sempat menemuinya.
“Saya baik, bagaimana denganmu?"
"Sangaaaat baik, ini untukmu, buah-buahan, sayuran, dan beberapa tumbuhan obat-obatan, aku baru panen"
Dia menerima pemberianku, mengangguk.
"Jangan memaksakan dirimu ya saat bekerja, minumlah vitamin dan cukupkan istirahatmu, kamu sehatkan?" ujarnya pelan, inilah salah satu cara Akira menunjukkan kepeduliannya padaku.
"Ya, aku sehat Akira"
"Saya selalu kagum padamu, dulu kupikir kamu adalah petani yang lemah, ternyata sebaliknya, kamu luar biasa, memberi kehidupan untuk desamu dengan hasil panenmu" pujinya tulus, aku tertawa.
"Sudah dulu ya Akira, aku mau memberi ini ke tetangga yang lain, daah" aku melambai, dia mengangguk, tepat sebelum aku menutup pintu.
Saat pintu sudah tertutup aku menghela nafas pelan, lihatlah, Akira tidak menunjukkan sikap dia merinduiku, ah, aku menggelengkan kepala, tidak masalah, bersikap seperti biasa saja, Lily. Tidak perlu berlebihan.

"Minggu depan aku mau mengadakan pesta kebun musim panas" ujarku pada Akira, lagi-lagi kami sedang berada di ruangan kerja Akira, dia sedang sibuk dan aku sedang santai di kursi.
"Hmm.."
"Aku akan mengundang semua teman-teman kita, para orang tua mungkin tidak.. Tapi aku akan mengantarkan makanan ke mereka"
"Ya.."
"Aku akan memesan kembang api dari kota, ah ya, pesan sama Kai saja"
"...."
"Mungkin mereka semua akan duduk ditikar, aku tidak punya kursi banyak"
"Hhhmm"
Aku melirik Akira, apakah dia benar-benar mendengarkanku? Seperti dia hanya menyahut begitu saja, ah, Akira sibuk sekali.
"Akira.."
"Ya?" sahutnya tanpa memalingkan wajahnya dari pekerjaannya.
Aku tidak membalas, hanya menatap kesibukannya.
"Ada apa, Lily?" akhirnya dia mendongak.
"Aku hanya memanggilmu saja" seringaiku, dia memutar bola mata, kemudian melanjutkan pekerjannya.
"Kau sibuk sekali, aku pulang dulu ya, lagian aku ingin menyiapkan daftar keperluan pesta"
Akira mendongak lagi.
"Pesta apa?"
Aku mengeluh, "Pesta yang tadi aku bilang, pesta kebun musim panas, aku akan mengundang teman-teman kita"
Dia diam sebentar, kemudian mengangguk, dasar, dia pasti hanya pura-pura ingat, padahal mendengarkanpun tidak.
"Dah, Akira, kau jangan memaksakan dirimu bekerja, istirahatlah, aku tidak mau kau sakit"
"Tumben kamu khawatir pada saya?" godanya, "Tenanglah, saya akan baik-baik saja"
Aku hanya mengangguk, langsung keluar, ah, Akira selalu saja sibuk.


***

0 komentar:

Posting Komentar