RSS

Desa Mineral -14-

“Ini pesta yang hebat Lily!” erang Ann, merasa sangat bahagia, aku tertawa, menatap sekitar, benar, ini pesta yang hebat.
Akhirnya hari ini tiba juga, setelah aku dan Akira bekerja keras. Benar, aku dan Akira. Akira membantu banyak dalam menyelenggarakan pesta ini, seminggu terakhir dia terus datang tiap sore dan membantuku, jika tidak mengurus peternakan, dia akan membantuku mendekorasi tempat pesta, memasang lampu-lampu, pita, dan apa saja yang bisa dilakukannya. Sehari sebelum pesta dimulai, kami berdua mulai memasukkan binatang-binatang ternak kami ke dalam kandang, ada sedikit peristiwa saat itu, Barcelona, salah satu sapiku, tiba-tiba saja mengamuk dan sialnya Akira berada di dekat situ, kaki Akira menjadi korban tendangan si sapi, tendangan itu cukup untuk membuatnya pincang hari ini.
Aku melihat sekeliling lagi, mencari Akira, tak perlu waktu yang lama, aku sudah menemukan dia bersama Elli, sepertinya Elli akan memeriksa kaki Akira lagi, aku baru saja akan menghampiri mereka, ketika Popuri memanggilku.
“Lily, airnya habis, apakah kau masih punya cadangan?”
“Eh? Oh, iya, aku masih punya, tunggu sebentar” aku bergegas masuk ke dalam rumah, dan segera mengambil persediaan air di kulkas, baru saja aku akan membuka pintu dan keluar, saat aku mendengar suara Karen, berbicara sesuatu, entah apa yang mendorongku, aku berdiam diri, mencoba mendengarkan.
“Elli sangat hebat berakting sepertinya”
“Berakting? Maksudmu?” Itu suara Mary.
“Well, kau masih ingat bukan, saat aku bercerita pada kalian semua-kecuali Lily tentu saja, bahwa aku melihat Elli menangis, karena hari itu dia mendengar pengakuan Akira bahwa Akira ternyata mencintai Lily, hari itu tepat hari Lily jadian dengan si dokter itu”
“Jadi maksudmu-“ Mary sepertinya bisa mengerti dengan cepat. “Elli sangat hebat berakting, karena dia, bersikap seakan dia tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Akira? Mengobrol seperti biasa dengan Akira, atau dengan dengan Lily, seakan dia juga tak pernah tahu bahwa Akira pernah menyatakan perasaannya terhadap Lily di depan Elli sendiri?”
“Kau benar”
“Aku lebih berpikir sepertinya Elli sudah menerima segalanya....”
“Jangan bodoh Mary, kita semua tahu-kecuali lagi-lagi Lily, bahwa Akira itu cinta pada pandangan pertama Elli sejak Akira datang ke sini dulu.. kau masih ingat bukan, dia yang pertama kali merasakan cinta padahal kita masih remaja, aku yakin dia akan sangat sulit melupakannya, menerima segalanya, apalagi secara tiba-tiba begini...”
“Um.. walau aku benci mengakuinya, sepertinya kau benar.. dan, apa kau setuju dengan hubungan Lily dan Akira?”
“Mereka cocok saja menurutku, mereka terlihat... yah, seperti pasangan yang benar-benar muda jika mereka sudah berdua, bertatap penuh cinta, tertawa bersama, bagaimana Akira memperlakukan Lily.. aku pernah melihat mereka, sangat sangat romantis.. Aku ingin tahu bagaimana pendapat Elli, membencinya, kurasa..”
“Sikap Elli berubah saat Lily tak berada di sekitar mereka, kau lihat?”
“Ya, apa Akira menyadarinya?”
Mereka diam lama, aku memutuskan ini saatnya aku membuka pintu.
“Ssssejak kapan kau ada di dalam sana?” tanya Karen, mereka berdua benar-benar terlonjak saat aku membuka pintu. Aku pura-pura bingung.
“Sejak tadi, aku membuat minuman” aku menunjukkan minuman yang sebenarnya sudah ku buat sejak sore.
“Apa kau mendengar pembicaraan kami?” tanyanya gugup, aku menaikkan sebelah alisku.
“Pembicaraan? Tidak, memangnya pembicaraan apa? Jangan-jangan...” aku berpura-pura syok. “Kalian membicarakanku?”
Karen dan Mary terlihat sangat lega.
“Ya, kami membicarakan segala keburukanmu” balas Karen, menyeringai.
“Aku tak yakin kau membicarakan keburukanku, kau tak akan seberterus terang itu jika kau memang membicarakanku...”
“Memang tidak sebenarnya, tapi kau tak boleh mengetahuinya, sebenarnya, ini beberapa rahasiaku.. kau serius tidak mendengarkan?”
“Tidak tidak, tetapi apa kau mau memberitahuku rahasiamu?”
“Tentu saja tidak!” tukas Karen, aku tertawa setengah terpaksa, kemudian pergi menuju meja tempat disimpannya minuman, ah, Karen sangat hebat berbohong.
Tiba-tiba aku tidak lagi menikmati pesta. Pesta ini terasa suram dan membosankan, ingin sekali aku cepat menyelesaikannya.
Saat tahu ternyata Elli mencintai Akira sejak dulu hingga sekarang membuatku sedih, gelisah, kecewa, takut, marah, dan banyak hal lainnya menjadi satu. Di sisi lain aku merasa bersalah karena merebut Akira begitu saja dari Elli, tanpa aling-aling. Tetapi aku juga membencinya, atau lebih ke perasaan takut kurasa, takut kehilangan Akira, benci dengan Elli yang sok bersahabat padahal mungkin saja dia membenciku.
Sepanjang pesta, aku merasa amat gelisah, begitu banyak pertanyaan di dalam pikiranku, di tambah lagi Elli yang terus menerus di samping Akira membuatku cemas, aku hanya berharap para undangan tak menyadari kegelisahanku.
Untunglah, begitu banyak yang mengajakku mengobrol hingga tak terasa sudah hampir tengah malam dan pesta pun bubar, yang terakhir pulang adalah Akira, sebelumnya Elli, yang bersikeras menemaninya karena kakinya yang masih sakit. 
"Apa kamu butuh bantuan mengemaskan sisa-sisa pesta?" tanya Akira, aku menggeleng.
"Besok saja kamu mengemaskannya, malam ini istirahatlah yang cukup" kali ini aku mengangguk, menatap mata hitamnya, dan tiba-tiba saja aku kembali memikirkan percakapan Karen dan Mary, bagaimana jika nanti Elli berhasil merebut Akira? Bagaimana jika Akira akhirnya jatuh cinta dan mencampakkanku? Aku merasa sekarang Akira jauh sekali dari genggamanku, betapa mudahnya dia akan lepas dari sisiku, meninggalkanku, apa yang harus aku lakukan nanti?
"Lily?! Kenapa kamu tiba-tiba menangis?" terdengar suara Akira samar, apakah aku tadi melamun hingga mengeluarkan air mata memikirkan option itu? Aku menyeka mata, benar, ada air mata.
"A-aku, tidak apa-apa, aku hanya tiba-tiba terpikir hal yang sedih" bisikku pelan, tersendat.
"Lily.. Sejujurnya dari tadi saya melihatmu seperti sedang gelisah, ada apa? Ceritalah padaku, sayang" ujarnya lembut sambil mengelus rambutku.
Aku menggeleng kuat, menahan tangannya yang sedang mengelus rambutku.
"Tidak ada masalah apapun Akira, sungguh, aku memang terkadang menangis tiba-tiba jika memikirkan hal yang sedih."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Ssesuatu..maksudku, aku teringat salah satu film yang pernah kutonton, tentang bagaimana tokoh utama membuat pesta besar seperti ini, dimana teman-temannya tidak tahu bahwa itu adalah pesta perpisahan, karena esoknya si tokoh utama meninggal" karangku, bahkan sejujurnya aku tak pernah melihat ataupun mendengar film yang beralur seperti itu. Kemudian aku cepat-cepat menambahkan. "Film itu sangat sedih, kau tahu" 
Akira menaikkan alisnya, tapi lantas tersenyum. "Baiklah, tidur yang nyenyak ya, saya pulang dulu"
"Hati-hati"
"Hmm" Akira melambai sambil berjalan hingga hilang dalam kepekatan malam, aku menghela nafas, syukurlah Akira tidak bertanya apa-apa lagi, walaupun aku tahu dia tidak akan begitu saja percaya.
....
Akira, maafkan aku.


***

Desa Mineral -13-

Aku sudah mengirim surat kepada Kai, aku tahu dia pulang lusa, semoga saja dia menerima suratku dan sempat untuk membeli kembang api. Aku juga sudah membersihkan sebagian besar halaman rumahku, dan saat aku baru akan memerah susu sapi, tampak sosok Akira di depan pagar, membuatku berhenti menatapnya, heran.
“Ada apa kemari, Akira?” tanyaku saat dia sudah di depanku.
“Ingin membantu”
“Membantu?”
“Well, lebih tepatnya ingin bersamamu” ada secercah nada humor dalam suaranya, “Saya minta maaf tadi tidak mendengarmu berbicara, kesibukan benar-benar membuatku mengabaikanmu, jadi untuk menebusnya, saya akan membantumu bekerja hari ini, tidak masalahkan?”
Ternyata Akira sadar dia tidak mendengarkanku bicara.
Aku mengangguk, tersenyum.
“Kalau begitu, kita mulai darimana?” tanyanya, melihat sekeliling sambil melepaskan jas dokternya dan menggulung lengan kemejanya, membuat lengannya-yang ternyata berotot-terlihat. Aku langsung merasa pipiku panas, entah apa penyebabnya.
“Ggg-gantungkan saja jasmu di sana” aku menunjuk gugup paku yang tertancap di dinding. “Kita mulai dengan memerah susu sapi, kau siap?”
Akira terlihat ragu sebentar, tetapi kemudian mengangguk semangat, karena alat pemerah susu sapiku hanya ada satu, jadi aku memutuskan memakai ember saja, melakukannya secara manual, aku menarik Akira ke padang rumputku.
Are you ready, Akira?” aku menyeringai, dia mengangguk gugup.
 “Kamu gadis yang pintar Lily, gadis yang luar biasa, betapa beruntungnya saya mempunyai kamu, cantik, pintar, bisa mengurus ladang, dan banyaaak lagi”
Perkataannya membuatku malu, tetapi aku berusaha menguasai diri, segera menjawabnya, “Jangan seperti itu. Banyak orang-orang di kota sana yang lebih hebat dariku, lebih cantik dariku, dan memiliki segalanya”
“Saya tidak percaya” dia menjulurkan lidah padaku. “Kamu yang tercantik bagiku, kamu lebih cantik daripada siapapun yang ada di alam semesta ini”
“Jangan gombal begitu, Akira!” aku berusaha menimpuknya dengan ember yang masih kosong, tetapi dia sudah keburu lari, melihat itu, aku berusaha menyusulnya, alhasil kami jadi kejar-kejaran, sampai akhirnya, dengan tak terduga, Akira berbalik dan menangkapku yang masih lari berusaha mengejarnya, membuat kami jatuh bersama, dengan posisi aku di atas Akira.
Kami tertawa keras.
Astaga, ini nyaris seperti dongeng. Apakah Akira adalah pangeran negeri dongengku?
Tidak, dia datang dari dunia nyata dan akan membawaku ke dunia nyata.
“Hanya kamu yang pernah membuat saya sebahagia ini, sebelumnya hidupku hanya dipenuhi oleh kesibukan” bisiknya lembut di telingaku, sekarang dia mendudukkanku di pangkuannya dan memelukku erat dari belakang, sebenarnya, ini membuatku sangat malu, aku hanya berharap dia tidak mendengar detak jantungku yang begitu bertalu-talu.
“Senang mendengarnya..”
Aku bisa merasakan senyum Akira. Dia mengacak rambutku.
“Aku bahagia, sangat bahagia bisa bertemu denganmu, bisa berdua di padang rumputmu ini sore ini, dan bisa memelukmu eraaaaaaat sekali” sambil berkata begitu dia memelukku semakin erat.
“A-Akiraa-“
“Ssstt... dengarkan” dia meletakkan jarinya di bibirku, kemudian kami diam bersama-sama. Walaupun aku merasa bingung, apa yang harus di dengarkan?
“Detak jantungmu kuat sekali, tak beraturan, apa gara-gara saya?”
Oh! Ternyata!
“Jangan membuatku malu”
“Saya senang jika jantungmu berdetak lebih cepat gara-gara saya, kamu tidak perlu malu, sayang” kali ini dia mengelus pipiku sekilas, aku memejamkan mataku, menikmatinya.
“Saya mencintaimu, amat mencintaimu, dunia dan seisinya bahkan tidak cukup untuk menjumlahkan besarnya perasaanku padamu”
Astaga, panasnya wajahku mungkin bisa membakar seluruh hutan desa ini.
“J-jangan menggombal lagi Akira” balasku gugup.
“Saya serius-“
“Suit!!” terdengar siulan seseorang, kami berdua menoleh.
“Hoy! Jangan asik sendiri! Kalian mesra sekali, sampai lupa sekitar” Itu suara Zack, setengah mengeluh, setengah menggoda, sengaja benar menatap jail kami yang sedang dalam posisi aneh ini, dengan cepat kami berdua menjauhkan diri, aku merasa salah tingkah.
“Sudahlah Zack, kerjakan saja tugasmu dan pergi” teriakku, menyeringai, Zack bersungut-sungut.
“Kejam sekali, dasar orang yang sedang jatuh cinta, kalau begitu aku pergi dulu, dan, HATI-HATI DENGANNYA YA DOKTER AKIRA! LILY ITU SEBENARNYA SEORANG NENEK SIHIR!!!” sebelum aku menyadari arti perkataannya, dia sudah berlari, di sebelahku Akira tertawa keras.
“Awas saja kau Zack! Dan, ngapain kau tertawa?!” aku menoleh, menatap garang Akira, dia demi melihat tatapan garangku, berusaha menahan tawa.
“Gomen, tenang saja, walaupun tiba-tiba kamu berubah menjadi monster berkepala tiga, saya tetap akan mencintaimu” dia mengedip padaku, kemudian tertawa lagi.
Aku akhirnya ikut tertawa. Ah, betapa beruntungnya aku memilikinya, tak seharusnya aku khawatir karena ia jarang berucap ‘Aku mencintaimu’ ataupun tak mau menciumku, dia adalah segala-galanya, selalu ada cara terbaik untuk menyatakan cinta.


***

Desa Mineral -12-

“Nanti sore ke rumahku ya, kita akan merayakan Starry Night Festival, kau ada waktu kan?” ajakku pada Akira, kami sedang duduk di tepi pantai.
“Ah iya, baiklah, pukul berapa?”
“Jam lima bagaimana?”
Akira mengangguk. “Kalau begitu sebagainya kamu siap-siap dulu, kamu belum masak kan?” tanyanya, aku mengangguk, menyeringai.
”Nah pergilah, jam lima nanti saya akan datang” aku mengangguk lagi, pergi menuju rumah, tunggu saja Akira, aku akan berusaha keras untuk malam ini.

“Bagaimana? Enak bukan?” tanyaku saat dia merasa masakanku, ini masakan spesial, khusus untuk Akira.
“Seperti biasa, enak, kamu memang calon istri yang hebat” godanya, terkekeh, sedangkan jantungku langsung berdegup kencang, wajahku terasa panas.
“Kenapa wajahmu seperti kepiting rebus begitu?” tanyanya jail, aku menggeleng.
“Habiskan sajalah, jangan banyak bicara” tukasku, dia tersenyum, melanjutkan makan. Selesai makan kami mengobrol tentang beberapa hal, sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Saya pulang dulu ya, kamu juga harus istirahat, sudah malam” ujarnya lembut, aku mengangguk, tidak terlalu fokus sebenarnya, meminum terlalu banyak wine sedikit membuat pikiranku kehilangan fokus.
“Hati-hati di jalan, Akira.”
“Tentu saja, lagian siapa yang akan mencelakaiku? Hantu?”
“Mungkin saja” sahutku defensif, dia tertawa, mengacak rambutku.
“Ada-ada saja, bye, sampai ketemu besok ya, kalau kamu tidak sibuk” bisik Akira sambil mengecup puncak kepalaku.
“Aku mencintaimu” bisikku pelan.
“Saya milikmu”
Aku menengadahkan kepalaku,  menatap matanya yang sehitam malam, kemudian mengelus pipinya. “Akira....” gumamku, mendekatkan wajahku padanya, memejamkan mataku.
“Lily... h-hei, kamu ngapain” ujarnya bingung, mendorong bahuku dengan tegas, aku merasa linglung, pengaruh Wine terlalu kuat bagiku.
“Cium aku” desisku, berusaha mendekatkan diriku lagi padanya, tetapi dia tetap memegang bahuku agar aku tidak bergerak.
“Kamu pasti terlalu banyak minum wine, ya kan?”
“Aku teringat ciumanku dengan Kai” renungku, Akira mematung, aku yakin dia tidak senang nama Kai di sebut-sebut disini, apalagi dengan adegan ciuman itu.
“Aku sadar, dia luar biasa, kau tahu.. tetapi aku tahu kau lebih lebih dan lebih, aku ingin menghapus kenangan itu dengan...dengan ciumanmu” astaga, kenapa aku mengatakannya tanpa pikir-pikir dulu, ini gila.
“Saya tidak ingin saya melakukannya hanya gara-gara Kai” ujarnya tajam, aku menggeleng.
“Kau tidak mengalaminya, kau tidak tahu betapa inginnya aku...” aku tidak menyelesaikan perkataanku, menyambar bibirnya cepat, tapi terlambat, Akira lebih dulu bereaksi, dia memberi dinding antara kedua bibir kami dengan telapak tangannya, sialan.
“Lily..hen-ti-kan!” tegurnya dengan tegas, kembali mendorong bahuku jauh-jauh, walaupun aku sudah berusaha sekuat tenaga, tetap saja dia yang akan menang.
“Kamu harus tidur, pikiranmu sedang kacau” dia menarik lenganku, sedikit keras, membawaku ke tempat tidur, aku menurutinya.
“Saya sebaiknya pulang, kamu jaga diri baik-baiknya, jangan bertingkah macam-macam” Akira menyelimutiku, bisa kurasakan tatapannya yang menyiratkan perasaan pedih, apakah kata-katakulah penyebabnya? Atau perilakuku?.
“Tidurlah, sayangku, mimpi yang indah-indah, kamu cintaku satu-satunya, dan... aku berjanji suatu saat nanti akulah yang akan menjadi satu-satunya milikmu” dia mengecup keningku sebelum akhirnya meninggalkan rumahku. Aku terlalu pusing dan mengantuk untuk berpikir makna kalimat Akira yang aneh barusan.

***
“Elli... berikan ini pada Akira ya, ini makan siangnya” bisikku pelan, berusaha agar Akira tidak mendengar, aku sedang berada dalam klinik, di meja resepsionis.
“Kenapa memangnya? Kalian tidak berkelahikan?” balasnya sambil berbisik juga. Aku menggeleng kuat.
“Aku hanya sedikit....malu.., sekarang aku pergi-“
“Elli, kau memberiku dokumen yang salah, ini adalah dokumen tentang rumput-rumputan di kota kita, bukan kota sebelah, eh, hai Lily, ada apa?”
Itu adalah suara Akira, dia sekarang berada di belakangku, aku mematung seketika, merasa wajahku memerah, sedangkan Elli menatap kami berdua bergantian.
“A-aku pergi dulu Elli, b-bye” dan sebelum mereka berdua sadar, aku sudah mengacir keluar.
“Ada apa dengannya?” tanya Akira kepada Elli di dalam, sedangkan aku sudah menjauh dari klinik.
Elli mengangkat bahu.
“Dia bilang dia malu atau semacamnya, memangnya ada apa?” tanya Elli balik, Akira diam, berpikir, lantas beberapa detik kemudian terkejut.
“Jangan-jangan....kalau begitu aku harus segera menyusulnya” ujarnya pada diri sendiri, membuat Elli semakin bingung.

Aku? Kali ini aku berada di dalam Spring Mine (Gua) di Mother’s Hill. Aku tidak mau Akira menemuiku, dia pasti sedang mencari-cariku sekarang, bingung atas ulahku barusan.
Saat bangun tidur tadi pagi, aku masih teringat kejadian semalam, walaupun saat itu dalam pengaruh Wine, entah kenapa aku bisa mengingat semua kejadiannya, hanya beberapa kejadian yang tidak jelas, salah satunya adalah bagian paling akhir, saat Akira mengatakan sesuatu-entah apa- padaku.Kejadian aku hampir menciumnya itu? Aku ingat sangat sangat jelas.
Itu membuatku malu, aku tidak tahu dorongan apa yang membuatku nyaris menciumnya kemarin, itu sungguh hal yang gila, apa yang ada dipikiran Akira sekarang? Dia pasti jijik padaku, lihatlah, aku perempuan, tetapi bersikap begitu agresif, dan semalam aku mengungkit-ungkit masalah ciumanku dengan Kai, menyebut Kai luar biasa pula. Astaga, itu sudah cukup untuk membuat Akira membenciku.
“Aaaaaaa... aku maluu sekaliiii, kenapa..kenapa..kenapaaaa” teriakku pada diri sendiri, melempar batu-batu kecil di sekitarku.
“Kamu malu kenapa?” tanya sebuah suara, membuatku tersentak.
“A-a-a-kira, kenapa kau bisa tahu aku di sini?”
“Saya tanya pada Dewi Panen” cengirnya lebar. “Dia tahu segalanya”
“Pergilah..aku ingin sendiri dulu” pintaku muram, tetapi Akira malah mendekatiku.
“Kamu tidak perlu malu, saya mengerti kemarin kamu melakukannya gara-gara pengaruh wine
“Kau seharusnya marah padaku”
“Untuk alasan apa?”
“Karena aku bersikap ceroboh”
“Apa kamu ingin saya marah padamu?”
“Menyimpan kekecewaanmu di dalam pikiranmu sendiri itu tidak baik..”
Aku tidak menjawab.
“Aku minta maaf Akira...”
“Kamu tidak salah” dia menatapku, tersenyum hangat.
“Aaaaah... apakah aku cocok dengamu” keluhku, membenamkan kepalaku diantara lutut. “Kau begitu dewasa, begitu berhati-hati, sedangkan aku bersikap seperti anak-anak, sembrono, seenaknya-“
“Lily, angkat kepalamu” sela Akira, suaranya terdengar garang, membuatku terkejut.
“Tidak..aku tidak mau, aku malu sekali padamu..” sergahku.
“Saya memaksa..” ucapnya tegas, membuatku akhirnya menatapnya, tatapannya tajam.
“Kali ini saya marah padamu” geramnya. “Kamu tidak seharusnya berkata begitu Lily, kamu adalah milik saya, saya menerimamu apa adanya, saya mencintaimu sepenuhnya Lily”
Kali ini aku melongo, sedetik kemudian perasaanku buncah oleh eurofia bahagia, apa aku tidak salah dengar? Dia mengucapkan kalimat itu untuk pertama kali, kalimat cintanya.
“Terimakasih Akira, sungguh, terimakasih banyak”

***

Musim dingin akhirnya berlalu, itu adalah musim dingin terindah yang pernah aku rasakan, dimana Akira memintaku menjadi kekasihnya, dimana aku lebih sering bersama Akira, membawakannya makan siang, makan malam, berjalan-jalan keliling desa, menonton festival, menikmati terbitnya matahari pertama di tahun baru. Semuanya menyenangkan, amat menyenangkan. Semua remaja tanggung di desa ini tahu kami resmi menjadi sepasang kekasih, entahlah dengan para orangtua, mungkin ibu-ibu yang sering menggosip di alun-alun kota sudah tahu.
Semua berjalan lancar dan menyenangkan, Akira sangat pandai memperlakukanku dan menanggapi sifat-sifat burukku, seperti sifat keras kepalaku, sifat kekanak-kanakkanku, sifat manjaku, dan lain sebagainya, dia benar-benar dewasa. Betapa beruntungnya aku mempunyai dia.
"Akira...!" panggilku, dia mendongak, kami berada di ruangannya.
"Ada apa?" dia tersenyum kalem, aku balas tersenyum.
"Apa kabar? Lama tidak bertemu" kali ini benar, beberapa waktu lalu sudah pertengahan musim semi, saat itu aku sedang panen besar sehingga sangat sibuk dan tidak sempat menemuinya.
“Saya baik, bagaimana denganmu?"
"Sangaaaat baik, ini untukmu, buah-buahan, sayuran, dan beberapa tumbuhan obat-obatan, aku baru panen"
Dia menerima pemberianku, mengangguk.
"Jangan memaksakan dirimu ya saat bekerja, minumlah vitamin dan cukupkan istirahatmu, kamu sehatkan?" ujarnya pelan, inilah salah satu cara Akira menunjukkan kepeduliannya padaku.
"Ya, aku sehat Akira"
"Saya selalu kagum padamu, dulu kupikir kamu adalah petani yang lemah, ternyata sebaliknya, kamu luar biasa, memberi kehidupan untuk desamu dengan hasil panenmu" pujinya tulus, aku tertawa.
"Sudah dulu ya Akira, aku mau memberi ini ke tetangga yang lain, daah" aku melambai, dia mengangguk, tepat sebelum aku menutup pintu.
Saat pintu sudah tertutup aku menghela nafas pelan, lihatlah, Akira tidak menunjukkan sikap dia merinduiku, ah, aku menggelengkan kepala, tidak masalah, bersikap seperti biasa saja, Lily. Tidak perlu berlebihan.

"Minggu depan aku mau mengadakan pesta kebun musim panas" ujarku pada Akira, lagi-lagi kami sedang berada di ruangan kerja Akira, dia sedang sibuk dan aku sedang santai di kursi.
"Hmm.."
"Aku akan mengundang semua teman-teman kita, para orang tua mungkin tidak.. Tapi aku akan mengantarkan makanan ke mereka"
"Ya.."
"Aku akan memesan kembang api dari kota, ah ya, pesan sama Kai saja"
"...."
"Mungkin mereka semua akan duduk ditikar, aku tidak punya kursi banyak"
"Hhhmm"
Aku melirik Akira, apakah dia benar-benar mendengarkanku? Seperti dia hanya menyahut begitu saja, ah, Akira sibuk sekali.
"Akira.."
"Ya?" sahutnya tanpa memalingkan wajahnya dari pekerjaannya.
Aku tidak membalas, hanya menatap kesibukannya.
"Ada apa, Lily?" akhirnya dia mendongak.
"Aku hanya memanggilmu saja" seringaiku, dia memutar bola mata, kemudian melanjutkan pekerjannya.
"Kau sibuk sekali, aku pulang dulu ya, lagian aku ingin menyiapkan daftar keperluan pesta"
Akira mendongak lagi.
"Pesta apa?"
Aku mengeluh, "Pesta yang tadi aku bilang, pesta kebun musim panas, aku akan mengundang teman-teman kita"
Dia diam sebentar, kemudian mengangguk, dasar, dia pasti hanya pura-pura ingat, padahal mendengarkanpun tidak.
"Dah, Akira, kau jangan memaksakan dirimu bekerja, istirahatlah, aku tidak mau kau sakit"
"Tumben kamu khawatir pada saya?" godanya, "Tenanglah, saya akan baik-baik saja"
Aku hanya mengangguk, langsung keluar, ah, Akira selalu saja sibuk.


***

Desa Mineral -11-

"Dia masih marah besar padamu, kurasa" renung Elli, menopang dagunya dengan kedua tangan di atas meja. Akira mengangguk.
"Aku tidak mengerti dengan sikapnya, mengirimiku kado, khawatir, membukakan pintu, membalas pelukanku, menjagaku, tetapi ternyata masih menyimpan amarah? Elli, berapa banyak kepribadian yang dimiliki wanita?"
"Mungkin khusus untuk Lily ada seratus" canda Elli, kemudian melanjutkan. "Temuilah dia, aku yakin itu hanya sikap keras kepalanya saja, pasti dia sudah memaafkannmu, mungkin dia hanya gengsi atau apa, dia pasti pasti ingin ditemui olehmu"
"Hmmhhh.." Akira menghela nafas. "Aku merasa lelah dengannya.. Aku sudah mencoba untuk bersikap sebagai lelaki yang bertanggung jawab, dengan mencoba menyelesaikannya, tetapi dia menolak, apalagi yang harus kulakukan?"
"Ya mencoba dan mencoba lagi.. Kau mencintainya kan?" celetuk Elli tulus, tetapi Akira malah terperanjat, wajahnya memerah.
"A...aku.. Aku hanya menganggapnya sahabat, Elli"
"Jangan membohongi perasaanmu Akira, kutanya kau, kau mencintainya kan? Jawab dengan serius" tuntut Elli, walaupun dia tersenyum lebar, menggoda. Akira hanya diam, wajahnya semakin memerah.
"Akiiraaa.."
"Baiklah..baiklah..kau benar" wajah Akira sudah seperti kepiting rebus. "Tetapi sebenarnya aku bingung, aku tidak mengerti apa yang aku rasakan padanya.. Apakah itu cinta.. Apakah itu hanya sebatas..." Akira mengeluh, meletakkan kepalanya di atas meja, Elli tertawa.
"Kau mencintainya Akira, dan percayalah padaku, Lily juga mencintaimu, aku bisa melihatnya, sekarang jangan banyak tanya, pergilah menyusulnya, aku akan pulang" dan sebelum Akira berkata apa-apa, Elli sudah keluar dari ruangan, kembali ke klinik.

Itu adalah pembicaraan yang tidak aku ketahui, pembicaraan itu terjadi di rumahku, sedangkan aku saat itu sudah berada jauh dari rumah, aku sedang berada di danau saat itu, meratapi diri. Aku tidak tahu bahwa Akira mengakui perasaannya terhadapku di depan Elli. Aku dan Akira juga tidak tahu, bahwa setelah itu Elli pergi dan menangis, menangis karena Akira, orang yang selama ini dicintainya, malah mencintai aku. Itu adalah sesuatu yang sebenarnya rahasia, aku mendengarnya dengan tak sengaja di sebuah pesta.

***
"Lily.."
Aku bergelung semakin dalam ke lututku..
Terdengar helaan nafas berat Akira, kemudian dia melanjutkan bicaranya, "Saya bosan berusaha bersikap sabar dan baik-baik denganmu, saya lelah mencoba bersikap layaknya laki-laki yang harus sepenuhnya bertanggung jawab, jujur saja, lama-lama saya merasa jengkel, kamu keras kepala sekali" ujarnya tajam dan dingin, aku terkejut mendengarnya, rasanya benar-benar menusuk perasaanku, apakah Akira serius dengan perkataannya?
"Bagaimana caranya menyelesaikan ini?" tanyanya lagi, kali ini datar dan dingin. Aku merasakan langkahnya mendekatiku.
"Di beberapa waktu yang lalu, kita berbicara dengan emosi, itu bukan cara yang baik, sekarang ayo kita berbicara dengan tenang, sekarang saya tanya kamu, apa kamu benar-benar serius, ingin saya menjauhimu? Kamu serius, ingin saya pergi dan menghilang dalam kehidupanmu?"
Aku tidak menjawab, merasakan jantungku berdetak lebih cepat.
"Jika ya, kita bisa saja bersikap biasa-biasa, tidak usah saling kenal, saling menganggap satu sama lain adalah orang asing, jawablah, saya bosan terus menerus begini"
"...."
"Apa terlalu sulit bagimu untuk menyelesaikan masalah ini? Saya tanya sekali lagi, kamu ingin kamu memutuskan hubungan pertemanan kita atau tidak?!"
"Ttdak.." Itu adalah suara berkumur yang amat pelan, Akira menaikkan sebelah alisnya.
"Apa yang kamu katakan? Saya tidak dengar"
"Aku....." hanya itu yang sanggup ku katakan.
Tapi kali ini Akira diam.
Aku juga diam.
Kami diam dalam waktu yang sangat lama.
“Aku memang salah..” akhirnya aku membuka pembicaraan, menunduk dalam-dalam, aku merasakan air mataku mengalir. “Aku terlalu emosian..aku terlalu egois.. aku keras kepala, aku tidak tahu di-“
“Lily..” sela Akira. “Tatap saya”
Aku diam sebentar, kemudian perlahan menoleh ke arah Akira, dan tiba-tiba saja dia memelukku, erat, erat sekali.
Perlahan tapi pasti aku membalas pelukannya, menyandarkan kepalaku di dadanya, walaupun aku tidak mengerti apa yang kulakukan, selama dalam pelukannya aku hanya menangis dan menangis.
 “Maukah kamu memaafkan saya, Lily Vandera? Saya sungguh-sungguh menyesal membuatmu menghilang dariku” ujarnya pelan, aku memejamkan mata. Tidak membalas.
“Lily?”
Akhirnya aku mengangguk, tersenyum, walau tahu dia tidak dapat melihatnya. “Ya, aku juga minta maaf dengan keegoisanku, Akira, aku sangat-sangat merindukanmu”
“Saya juga..” dia memelukku semakin erat sebentar, hingga kemudian melepaskannya dengan lembut.
“Saya...ingin menjadi bagian dari kehidupanmu” bisik Akira pada akhirnya, aku terkejut, tidak menjawab.“Maukah kamu, menjadi kekasih saya, agar kita bisa lebih mengenal satu sama lain?”
Akira? Apa yang terjadi pada dirimu? Aku berusaha menenangkan diriku, lihatlah, dia semudah itu menyatakan segala perasaannya, bagaimana dengan diriku?
Aku hanya bisa menunduk, bergumam tidak jelas.
“Lily... saya serius loh”
“Aku tahu kau serius dan tentu saja, tentu saja aku setuju, aku bersedia untuk mengenalmu lebih dekat, Akira” gumamku pada akhirnya, mendekapnya, Akira membalas dekapanku, tertawa.
“Apa kau sudah sembuh?” tanyaku, teringat kemarin dia pingsan.
“Sudah, sepertinya, berkat dirimu” dia tersenyum, mengecup dahiku.

Ya, begitulah pada akhirnya, sekarang aku mengerti, selama ini aku memang mencintainya, entah sejak kapan, dan rasa itu tidak pernah berkurang, kebencian itu hanyalah ilusi dari keegoisanku, aku tidak pernah benar-benar membencinya.

***
“Aku mendengar kabar dari Elli...” ucap Ann beberapa hari kemudian, saat itu aku berada di kamar Ann, benar, kamarnya, bukan ruang penginapan Ann.
“Apa yang kau dengar?”
“Tentang kau dan Akira yang akhirnya menjalin hubungan lebih dari sekedar sahabat.” Entah apa pasalnya, dia melotot ke arahku. “Tega-teganya kau tidak memberitahunya kepadaku?!” geramnya, aku menyeringai.
“Maafkan aku, aku hanya belum siap memberitahunya ke orang lain”
“Bagaimana bisa? Bukankah kalian saat itu sedang berkelahi hebat dan semacamnya?” tanyanya penasaran.
“Yah.. terkadang sesuatu memang bisa terjadi secara tak terduga, bukan?”
“Ceritakan...ceritakan, aku penasaran sekali” bujuknya, aku tersenyum.
“Awalnya, um, kau ingat hari dimana kau bertanya kapan aku akan berbaikan dengannya?” Ann mengangguk. “Nah, malam itu, Akira tetap datang, seperti biasa, aku hanya duduk di dalam, kemudian saat hampir pukul dua belas malam, aku membuka pintu.
“Akira tampat pucat, benar-benar seorang pesakitan, saat melihatku dia langsung berdiri dan memelukku, mengucap beberapa kata-“
“Apakah saat itu dia menembakmu?”
“Tentu saja tidak!” balasku tak sabaran. “Dengarkan saja dulu, jangan menyahut, oke?”
Ann mengangguk masam.
“Malam itu, setelah dia memelukku dan menggumamkan beberapa kata, dia tiba-tiba saja pingsan, jadi aku terpaksa membawanya masuk, ingat ya, saat itu aku terpaksa. Aku mau tak mau merawatnya, dan menjaga, hingga akhirnya aku tertidur.
“Paginya, saat terbangun aku sudah berada di atas kasur. Aku yakin Akira yang memindahkanku ke kasur. Saat itu Akira menyapaku, tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa marah lagi padanya, jadi kami bercekcok tentang beberapa hal dan akhirnya aku pergi ke hutan, ke danau tepatnya.
“Tak lama kemudian dia datang menyusulku, kau tahu, awalnya dia marah, aku balas marah, lalu kami akhirnya sama-sama diam, sampai aku mengatakan aku tahu aku salah dan sebagainya, dia memintaku menatapku, dan memelukku.“
Ann mengangguk, kemudian aku menceritakan hal yang terjadi selanjutnya.
“Apa tadi, dia bilang kepadamu, dia ingin menjadi bagian dari hidupmu? Ingin menjadi kekasihmu, dan ingin mengenalmu lebih jauh?” ujar Ann sangsi, aku mengangguk.
“Itu saja?”
“Benar, kenapa?”
“Benaran, Cuma itu saja, tak kurang satupun?”
“Iyaaa, Ann, kenapa sih?” aku mulai jengkel.
“Well, masa dia tidak mengucapkan aku cinta padamu,menciummu dan sebagainya?”
Aku termenung, iya juga ya.
“Apa itu suatu, masalah?”
“Ya....tergantung bagaimana kau menyikapinya, heran aja”

Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak perduli, padahal sekarang tiba-tiba saja aku tidak bisa berhenti memikirkannya, benar juga, dalam hari-hari ini semenjak hari itu, Akira tak pernah menyatakan perasaannya secara langsung, ah sudahlah Lily, dia pasti tulus mencintaimu, tak perlu kata-kata atau tindakan seperti itu, tak perlu.